Banjir dan Kekeringan Hantui Sudan Selatan Sepanjang Tahun

7 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan perubahan iklim telah mengubah pola cuaca secara drastis di seluruh wilayah Afrika. Dampaknya terlihat dari menurunnya produksi pertanian, melemahnya ketahanan pangan, dan meningkatnya jumlah pengungsi akibat bencana yang berulang. Sepanjang tahun, warga di Sudan Selatan harus menghadapi kekeringan dan banjir.

Pada Oktober lalu, WMO mencatat sekitar 300 ribu orang terdampak banjir di Sudan Selatan. Bencana ini semakin memperparah kondisi negara berpenduduk 13 juta jiwa yang tengah dilanda perang saudara.

“Banjir menyapu sekitar 30 hingga 40 juta hewan ternak, merusak habitat mereka, dan menyebabkan penyebaran penyakit menular,” kata Perwakilan FAO untuk Sudan Selatan, Meshack Malo, dikutip dari situs resmi PBB, Selasa (13/5/2025).

Ia menyebut banyak keluarga yang sebelumnya mampu mencukupi kebutuhan sendiri kini harus kembali bergantung pada bantuan. “Bagi seseorang yang harus kembali diberi makan, itu berdampak pada martabat mereka,” lanjut Malo.

Selain menghadapi krisis iklim, Sudan Selatan juga mengalami krisis ekonomi yang diperparah oleh eksodus pengungsi akibat konflik bersenjata di negara tetangga, Sudan. Ketegangan dan kekerasan di dalam negeri pun kian meluas.

Laporan PBB menyebut konflik di Sudan turut mengguncang perekonomian Sudan Selatan, yang sangat bergantung pada ekspor minyak. Sekitar 90 persen pendapatan nasional berasal dari sektor tersebut. Ketika tak dilanda banjir, Sudan Selatan justru dihantui kekeringan ekstrem.

“Siklus perubahan antara banjir dan kekeringan berdampak sepanjang tahun,” kata Malo.

Ia menambahkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banjir menjadi lebih sering dan lebih intens. “Artinya, bahkan curah hujan rendah pun bisa memicu banjir karena tanah dan air sudah jenuh. Ini memperburuk situasi.”

Kerusakan jalan akibat banjir membuat pengiriman bantuan menjadi sulit. Lembaga-lembaga PBB seperti FAO terpaksa menggunakan transportasi udara yang lebih mahal dan tidak efisien untuk menjangkau daerah-daerah terdampak.

Namun, FAO mencatat kemajuan di Kota Kapoeta, Sudan Selatan, dengan berhasil mengurangi masa kekeringan dari enam bulan menjadi dua bulan. Upaya tersebut dilakukan dengan membangun sistem penyimpanan air untuk melindungi hasil panen dari risiko perubahan iklim.

“Dampak kekeringan tidak lagi terlalu terasa,” ujar Malo di Ibu Kota Juba.

Manajer Program Regional WMO untuk Afrika, Ernest Afiesimama, menekankan pentingnya memperkuat ketahanan dan adaptasi perubahan iklim, terutama bagi negara yang kekurangan sumber daya air untuk irigasi. Ia menyebut desalinasi—proses mengubah air laut menjadi air tawar—bukanlah solusi yang tepat bagi banyak negara di Afrika.

“Mempertimbangkan tantangan di sub-Sahara Afrika, desalinasi menghadirkan tantangan ekonomi, lingkungan, dan sosial yang kompleks, termasuk soal keberlanjutan jangka panjang dan kesetaraan,” ujar Dawit Solomon, peneliti dari Accelerating Impacts of CGIAR Climate Research for Africa (AICCRA).

Ia menambahkan bahwa dampak perubahan iklim di Afrika dua kali lebih besar dibanding kawasan lain di dunia. Oleh karena itu, investasi untuk sistem adaptasi seperti peringatan dini dan peningkatan kesadaran menjadi semakin mendesak.

Read Entire Article
Politics | | | |