Efisiensi, Danantara, dan Ikhtiar Besar Wujudkan Kesejahteraan Bangsa

3 hours ago 3

Oleh: Ma’ruf Mutaqin, Mahasiswa S2 Administrasi Publik UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- TIDAK ada yang lebih sering dijual pemerintah belakangan ini selain jargon efisiensi. Dari tata kelola birokrasi hingga restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kata ini menjadi mantra penyelamat. Namun jargon efisiensi sering kali menutupi risiko besar yang menyertai konsolidasi ekonomi dalam skala raksasa.

Kini, jargon tersebut kembali bergema lewat penggabungan tujuh BUMN strategis ke dalam satu entitas raksasa bernama Danantara. Proyek ini bukan sekadar konsolidasi aset, melainkan juga konsolidasi kekuasaan ekonomi negara. Ia akan menjadi tolok ukur apakah efisiensi mampu berjalan seiring dengan keadilan sosial dan akuntabilitas publik.

Narasi resmi menyebut langkah ini akan memperkuat daya saing global, menarik investasi, dan mencetak profit besar. Namun, di balik optimisme itu, ada pertanyaan mendasar: apakah efisiensi benar-benar menjadi jawaban, atau justru pembuka jalan bagi sentralisasi kekuasaan ekonomi yang rawan monopoli dan intervensi politik?

Dari Efisiensi ke Sentralisasi

Efisiensi pada dasarnya adalah nilai positif. Tetapi ketika diwujudkan dalam bentuk penggabungan aset bernilai ribuan triliun rupiah ke bawah satu payung, persoalannya bukan lagi sekadar mengurangi biaya atau menghilangkan duplikasi. Sentralisasi ekonomi dalam skala besar bisa melahirkan kekuatan baru yang sulit diawasi.

Sejarah global menunjukkan, konglomerasi raksasa acap kali menciptakan risiko monopoli, menekan kompetisi, bahkan membuka celah bagi intervensi politik. Dalam konteks Indonesia, yang kerap menghadapi masalah tata kelola dan transparansi, sentralisasi semacam ini lebih mirip pedang bermata dua.

Langkah ini bisa menghadirkan efisiensi dan daya saing, tetapi sekaligus membuka risiko monopoli, penyalahgunaan kekuasaan, serta melemahkan prinsip keadilan sosial jika tidak diawasi dengan ketat. Sebagaimana diingatkan oleh ekonom Joseph Stiglitz dalam bukunya The Price of Inequality (2012), konsolidasi besar sering menghasilkan kekuatan pasar yang justru menggerus kesejahteraan publik. Kajian Bappenas berjudul Transformasi Ekonomi Indonesia 2045 (2021) juga menegaskan bahwa efisiensi tidak boleh mengorbankan inklusivitas, sebab tujuan akhir pembangunan ekonomi tetaplah pemerataan kesejahteraan.

Pemerintah berulang kali menegaskan, Danantara akan menjadi lumbung profit dan magnet investasi global. Janji ini memang menggoda. Tetapi, BUMN bukanlah perusahaan swasta murni. Ia lahir dari rahim konstitusi, dengan mandat sosial: menghadirkan energi murah, perbankan inklusif, hingga lapangan kerja luas bagi rakyat. Jika orientasi profit terlalu dominan, ada risiko misi sosial terpinggirkan. Rakyat mungkin hanya akan menjadi penonton, menyaksikan keuntungan fantastis yang tak pernah mereka rasakan.

Read Entire Article
Politics | | | |