Ika Bunda i i
Agama | 2025-05-17 11:26:32
Sebuah fenomena mencengangkan sekaligus memilukan baru-baru ini mencuat ke permukaan. Terungkapnya sebuah grup fetish dengan anggota mencapai 32 ribu akun, yang secara eksplisit menampilkan dan membahas fantasi perzinahan sedarah, sontak mengundang kengerian. Lebih ironis lagi, di tengah kehebohan dan keresahan masyarakat luas, respons dari para pejabat pemerintah terkesan dingin dan cenderung membisu. Ke mana perginya nurani dan tanggung jawab para pemangku kebijakan saat nilai-nilai moral dan agama diinjak-injak sedemikian rupa?
Bukan Sekadar Penyimpangan, Melainkan Kejahatan Biadab
Sungguh keliru jika fenomena grup fantasi sedarah ini hanya dipandang sebagai sekadar penyimpangan seksual yang memerlukan rehabilitasi. Ini adalah kriminalitas murni, sebuah kemaksiatan kubro (dosa besar) yang terorganisir, meskipun mungkin tidak dalam struktur formal. Bayangkan, puluhan ribu individu berkumpul untuk menormalisasi dan bahkan menikmati fantasi tentang hubungan terlarang dan menjijikkan antara anggota keluarga. Ini bukan lagi ranah personal, melainkan sebuah ancaman nyata bagi tatanan sosial dan moral masyarakat. Tindakan biadab ini harus dikenai sanksi hukum yang tegas dan memberikan efek jera, agar tidak semakin merusak sendi-sendi kemanusiaan.
Keputusasaan Masyarakat: Pemerintah Bungkam, Harapan Redup
Ketidakjelasan sikap dan ketiadaan kecaman keras, apalagi ancaman tindakan tegas dari pemerintah, bahkan sebatas wacana, semakin membuat masyarakat putus harapan. Ke mana perginya suara lantang pembela moral dan agama? Mengapa institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi nilai-nilai luhur justru terkesan abai? Kebungkaman ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga mengindikasikan adanya masalah yang lebih dalam dalam sistem pemerintahan dan penegakan hukum kita.
Fantasi Zina adalah Pintu Gerbang Incest
Dalam pandangan Islam yang mulia, fantasi perzinahan, sekecil dan seringan apapun, tidaklah dibenarkan. Ia merupakan langkah awal yang berbahaya, sebuah bisikan syaitan yang dapat menghantarkan seseorang pada perbuatan zina yang sesungguhnya, bahkan yang paling keji sekalipun, yaitu incest (perzinahan sedarah). Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk perbuatan yang mendekati zina, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
\text{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)
Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu mengambil tindakan preventif yang tegas terhadap potensi terjadinya fitnah dan kemaksiatan. Beliau tidak ragu untuk memberikan sanksi kepada Nashr bin Hajjaj, seorang pemuda Madinah yang terkenal dengan ketampanannya dan menjadi daya tarik bagi banyak wanita. Untuk menjaga kemaslahatan masyarakat dan menghindarkan dari potensi fantasi dan godaan yang dapat menjurus pada perzinahan, Khalifah Umar mencukur rambut Nashr dan mengasingkannya dari Madinah. Kebijakan ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang segala hal yang dapat membuka celah menuju perbuatan zina.
Fenomena grup fantasi sedarah ini adalah alarm yang sangat keras bagi kita semua. Ini adalah buah pahit dari sekularisme yang kebablasan, yang mencoba memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sudah saatnya kita kembali kepada nilai-nilai luhur agama Islam sebagai pedoman utama dalam membangun masyarakat yang bermoral dan beradab. Pemerintah harus segera bertindak tegas, bukan hanya dengan menangkap dan menghukum para pelaku, tetapi juga dengan membangun benteng moral yang kuat melalui pendidikan dan penegakan hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Jika tidak, kutukan sekularisme ini akan terus merusak generasi bangsa dan menghancurkan tatanan keluarga yang merupakan fondasi utama masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.