Oleh : Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
REPUBLIKA.CO.ID, Zohran Mamdani menjelma sebagai fenomena baru di jagad politik. Ia hadir menawarkan antitesis terhadap realitas getir yang menggerogoti kemegahan New York. Ketimpangan yang memilukan. Sementara jutaan warga di ibu kota kapitalisme itu berjibaku menyambung hidup, sisi lain New York menampilkan kemewahan. Realitas kota berwajah ambivalen, sesungguhnya telah jadi fenomena global. Tapi Zohran Mamdani berani tampil menawarkan formula solusi. Sosialisme Islam dalam wajah yang ramah.
Mamdani mengemas gagasan tersebut lebih universal. Jauh dari nuansa politik identitas. Karena itu, politisi muda berusia 33 tahun tersebut berhasil memenangkan bursa pencalonan walikota New York yang akan diusung partai Demokrat. Kemenangan seorang triple minoritas; muslim, keturunan imigran, politisi “bau kencur”, di jantung demokrasi Amerika Serikat, adalah peristiwa penting yang akan mengilhami jalannya sejarah.
New York merupakan panggung politik ultra kompetitif. Arena demokrasi paling sengit. Kota kosmopolitan yang dibangun dengan pondasi meritokrasi, ditopang pilar-pilar kompetensi tingkat tinggi. New York adalah mimpi peradaban kota paripurna, dimana ia menjelma sebagai destinasi berbagai ambisi. Maka keberhasilan Zohran Mamdani menembus blantika kota yang rumit, akan terus jadi inspirasi.
Mamdani muncul sebagai mercusuar yang memandu lompatan politisi triple minoritas di ruang kontestasi politik masa kini. Ia hadir apa adanya. Lantang membuka latar belakang sebagai keturunan imigran muslim, sembari menegaskan nilai-nilai yang ditawarkan. Termasuk menegaskan posisinya yang berpihak pada Palestina.
Argumentasinya valid. Yaitu komitmen pada hukum internasional dan kemanusiaan. Mamdani menyulap panggung politik New York dan AS menjadi arena transaksi gagasan.
Sebagai seorang Muslim diaspora yang mengangkat isu keadilan ekonomi, perumahan publik, dan pelayanan sosial, keterpilihannya memberikan sinyal bahwa nilai-nilai keislaman dapat beroperasi secara fungsional dalam sistem yang plural dan demokratis. Arah kebijakan yang diperjuangkan tidak berangkat dari semangat identitas, melainkan tumbuh dari denyut realitas sosial yang kuat.
Nilai-nilai kesetaraan, keadilan akses terhadap kebutuhan dasar, serta keberpihakan terhadap kelompok rentan, menjadi inti dari gagasan politik yang ia usung. Ia mendedahkan ide-ide sosialis di jantung kapitalisme.
Jika kita lacak lebih dalam, gagasan sosialisme Mamdani berakar pada prinsip Islam tentang keadilan sosial dan kemaslahatan umum. Interpretasi itu merefleksikan bahwa bagi sosok muda progresif seperti Mamdani, Islam tidak hanya berkembang dalam ruang ibadah dan tradisi, melainkan hadir dalam praktik kebijakan yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.
Proses ini adalah navigasi arah kebangkitan nilai-nilai Islam di masa kontemporer. Suatu kebangkitan yang tidak dibangun di atas romantisme masa lalu. Kebangkitaan Islam tumbuh melalui kerja kelembagaan, desain sistem, dan partisipasi aktif dalam wacana publik.
Di banyak titik, kebangkitan ini dapat didefinisikan sebagai Islam Renaissance. Sebuah fase kebudayaan yang memungkinkan integrasi antara prinsip spiritualitas, rasionalitas, dan pembangunan sistem sosial yang berkeadilan. Dalam pengertian ini, Islam mulai bergerak dari bentuk normatif menuju bentuk substansi yang sistemik.
Secara historis, kebangkitan ini memiliki akar yang kuat dalam peradaban Islam klasik. Pada masa Dinasti Abbasiyah, pemahaman terhadap Islam dibangun di atas keterbukaan intelektual dan keberanian untuk berdialog dengan berbagai pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Lembaga seperti Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab.
Proses ini tidak hanya menumbuhkan ilmu pengetahuan, tetapi juga melahirkan sintesis yang memperkaya teologi, hukum, kedokteran, dan astronomi. Tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Kindi, dan Al-Ghazali menjadi bagian dari ekosistem ilmiah yang menempatkan akal sebagai instrumen untuk memahami wahyu. Dalam sistem pendidikan, madrasah berkembang sebagai institusi publik yang memberi akses ilmu pengetahuan kepada lapisan sosial yang lebih luas.
Kehidupan kota ditata melalui prinsip wakaf, distribusi pangan diatur melalui baitul mal, dan hubungan antara negara dan rakyat dikelola melalui asas keadilan distributif. Unsur-unsur tersebut memperlihatkan bahwa sosialisme Islam bukan sekadar ide, tetapi dijalankan sebagai sistem yang mewujudkan keadilan sosial dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Pusat-pusat urban seperti Baghdad, Cordova, Kairouan, dan Samarkand menjadi model kota berperadaban yang menggabungkan ilmu, seni, dan tata kota dalam satu sistem yang saling menopang.
Keseimbangan antara kehidupan spiritual dan sistem sosial memberi daya hidup yang tinggi bagi masyarakat Muslim di masa itu. Pengelolaan kekuasaan bersandar pada prinsip musyawarah, perlindungan hak minoritas dijamin melalui sistem hukum, dan pertumbuhan ekonomi diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan dasar secara berkelanjutan.
Dalam konteks kiwari, upaya yang ditempuh oleh Republik Islam Iran memperlihatkan potensi aktual dari nilai-nilai tersebut. Sejak dekade 1980-an, Iran menempuh jalan yang menempatkan nilai-nilai Islam sebagai dasar pembangunan nasional. Riset teknologi, produksi energi, pengembangan sistem kesehatan, serta pendirian universitas-universitas riset dilakukan secara terencana. Semua diarahkan untuk memperkuat kapasitas negara dalam mencapai kemandirian dan keunggulan ilmiah.
Iran mengembangkan sistem pendidikan tinggi dengan menempatkan etika Islam sebagai kerangka moral, namun membuka diri terhadap metode ilmiah modern. Hasilnya adalah pertumbuhan pesat dalam sektor teknologi nuklir, bioteknologi, serta inovasi di bidang kedokteran dan rekayasa industri.
Pendekatan Kepemimpinan Teokrasi rupanya memperlihatkan bahwa Islam tidak berada dalam ketegangan dengan sains. Sebaliknya, nilai Islam menjadi landasan bagi integrasi antara keimanan dan rasionalitas.
Perkembangan ini memperkuat argumen empiris bahwa Islam dapat membentuk sistem kehidupan modern secara utuh. Dalam sistem ekonomi, prinsip zakat, wakaf, dan larangan praktik ekonomi eksploitatif dapat difungsikan sebagai instrumen redistribusi.
Dalam sistem pemerintahan, konsep syura dan amanah dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang inklusif dan akuntabel. Dalam bidang pendidikan, Islam mendorong terbentuknya manusia merdeka yang memiliki daya pikir, keberanian moral, dan tanggung jawab sosial.
Indonesia memiliki potensi yang sangat relevan dalam proses ini. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, serta sejarah panjang pendidikan keagamaan berbasis komunitas, Indonesia memiliki landasan sosial dan budaya untuk mengembangkan model Islam yang kontekstual dan terbuka terhadap tantangan zaman.
Tradisi intelektual Islam Indonesia telah membentuk kultur berpikir yang dialogis dan berorientasi pada pembaharuan. Hal ini memberi kekuatan bagi pengembangan sistem sosial yang lebih responsif terhadap prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi warga.
Arah kebijakan nasional dalam Asta Cita memperlihatkan sejumlah titik temu dengan nilai-nilai Islam. Penguatan kedaulatan pangan dapat dikaitkan dengan prinsip ketersediaan dan akses atas sumber daya dasar bagi semua warga. Pemerataan pendidikan mencerminkan kewajiban kolektif untuk mencerdaskan masyarakat sebagai dasar pembangunan.
Kemandirian energi dan hilirisasi sumber daya alam dapat dilihat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap generasi masa depan dan kesinambungan kehidupan. Nilai-nilai ini memberi dasar etis bagi pembangunan nasional yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga pada martabat.
Dengan begitu, Institusi sosial, ekonomi, dan politik perlu disusun kembali berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, dan keberlanjutan. Gerakan keilmuan harus diperkuat melalui investasi pada pendidikan yang menyeluruh. Sistem hukum perlu menjamin hak, bukan hanya menjalankan perintah. Produksi dan distribusi sumber daya harus disusun berdasarkan kebutuhan bersama, bukan hanya logika akumulasi.
Generasi muda memainkan peran penting dalam arah ini. Akses mereka terhadap pengetahuan global, teknologi informasi, dan jaringan lintas negara memberi mereka modal besar untuk membentuk wajah baru Islam. Di tengah dunia yang mencari keseimbangan antara teknologi dan moralitas, antara pertumbuhan dan keberlanjutan, Islam memiliki kerangka nilai yang dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi sistemik. Dalam hal ini, Renaissance Islam sejatinya sedang berlangsung.
Bila Mamdani menerjemahkan gagasannya berangkat dari sosialisme Islam, maka demokrasi Pancasila ala Indonesia sesungguhnya merupakan pengejewantahan ide-ide tersebut dengan pendekatan berbasis local wisdom dan menyerap kredo modernisasi yang jadi persimpangan berbagai gagasan besar.