Gadget Bukan Lagi Musuh: Teknologi Jadi Teman Baru Anak-Anak Belajar

2 hours ago 4

Image vania fahmi

Edukasi | 2025-12-10 18:40:20

Selama bertahun-tahun, kata “gadget” selalu diasosiasikan dengan kekhawatiran. Orang tua cemas anak menjadi kecanduan gim, guru merasa perhatian siswa terpecah, sementara sebagian masyarakat yakin bahwa layar adalah pintu masuk berbagai masalah baru. Namun, seiring berkembangnya pengalaman para pendidik, orang tua, dan komunitas belajar, perlahan muncul perspektif berbeda: teknologi tidak selalu menciptakan jarak, kadang justru membuka jalan baru bagi pembelajaran yang lebih efektif dan bermakna.Perubahan tampilan ini terlihat jelas dalam banyak pengalaman nyata. Di sebuah sekolah dasar negeri di Sleman, Yogyakarta, seorang guru kelas empat menceritakan bagaimana salah satu muridnya yang memiliki kesulitan belajar membaca mulai menunjukkan perkembangan pesat setelah menggunakan aplikasi literasi digital. Aplikasi tersebut menyediakan cerita berilustrasi lengkap dengan audio pendamping. Di luar dugaan, murid yang sebelumnya menolak membaca halaman teks bergambar biasa kini justru meminta tambahan cerita setiap hari. Sang guru, yang awalnya skeptis terhadap metode digital, mengatakan bahwa teknologi justru memberikan “jembatan” untuk masuk ke dunia muridnya.Kisah serupa hadir dari seorang ayah dua anak di Surabaya. Ia mengaku terlebih dahulu termasuk kelompok yang menolak kerasnya kehadiran gawai anak. Namun perubahan terjadi ketika ia menemukan bagaimana putranya, usia tujuh tahun, belajar menulis huruf dengan lebih cepat melalui aplikasi yang memberikan umpan balik otomatis. Dalam dua minggu, kemajuan anak-anak terlihat signifikan. “Saya baru sadar bahwa gawai hanya alat. Ia bisa menjadi musuh atau teman, tergantung yang menggunakannya dan untuk apa,” katanya.Tidak hanya dari lingkungan rumah, perubahan cara pandang juga muncul dari ruang kelas. Sebuah SMP di Bandung memperkenalkan metode “kelas eksperimen digital”, di mana siswa menonton video pendek tentang fenomena alam sebelum melakukan percobaan langsung. Para guru menyadari bahwa visualisasi mempercepat pemahaman konsep. Misalnya, siswa yang mempelajari tentang tekanan udara dapat melihat simulasi interaktif terlebih dahulu, sehingga ketika mereka melakukan eksperimen menggunakan alat sederhana, mereka lebih siap dan mengetahui apa yang harus diamati. Hasilnya, minat terhadap pelajaran IPA meningkat, dan siswa lebih aktif bertanya.Cerita lain datang dari seorang relawan pendidikan di Nusa Tenggara Timur. Ia pernah mengajar di desa yang mengakses buku fisiknya terbatas. Oleh karena itu, ia menggunakan tablet bekas yang memuat ratusan buku digital. Anak-anak di desa tersebut, yang sebelumnya hanya mengenal buku bacaan seadanya, kini bisa membaca cerita rakyat dari berbagai daerah, bahkan belajar tentang tata surya melalui gambar dan animasi. “Ketika teknologi masuk ke tempat yang benar, ia menjadi pintu dunia,” ujarnya.Meskipun demikian, transformasi cara pandang terhadap gawai tidak terjadi begitu saja. Banyak orang tua yang masih memandang teknologi sebagai ancaman, terutama ketika melihat anak menghabiskan waktu bermain gim atau menonton video tanpa henti. Namun sejumlah pakar menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukanlah melarang, melainkan mengarahkan.Dalam beberapa keluarga di Jakarta Selatan, misalnya, orang tua mulai menerapkan pola baru: bukan melarang gawai, tetapi menggabungkan teknologi dalam rutinitas belajar. Anak diberi jadwal khusus—misalnya 30 menit untuk menonton video edukatif, 20 menit bermain gim strategi, dan 40 menit menggunakan aplikasi belajar matematika. Dengan pendampingan yang konsisten, anak belajar disiplin dan memahami bahwa gawai memiliki banyak fungsi selain hiburan.Guru-guru juga mulai mengadopsi pendekatan yang berbeda. Di sebuah SD swasta di Tangerang, seorang guru menggunakan teknik “storytelling digital”. Ia meminta murid membuat cerita bergambar menggunakan aplikasi sederhana. Hasilnya mengejutkan: murid yang biasanya pendiam justru tampil penuh imajinasi ketika menuangkan cerita ke dalam layar. Guru tersebut menyimpulkan bahwa teknologi membantu murid mengekspresikan diri dengan cara yang tidak bisa difasilitasi hanya dengan pensil dan kertas.Pengalaman lain datang dari Aceh, di mana sebuah komunitas literasi menggunakan video dokumenter pendek untuk memperkenalkan anak-anak pada isu sosial dan lingkungan. Mereka menonton, berdiskusi, lalu membaca kembali pemahaman mereka dalam bentuk jurnal. Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan kemampuan berpikir kritis, tetapi juga menghubungkan teknologi dengan refleksi diri.Namun perlu diakui, pemanfaatan gawai dalam pembelajaran bukanlah tanpa tantangan. Beberapa anak memang mudah terganggu oleh aplikasi lain, terutama gim. Ada pula kasus di mana gawai menjadi alasan munculnya tantrum ketika waktu layar dibatasi. Tetapi pengalaman para pendidik menunjukkan bahwa tantangan ini dapat dikelola melalui pendampingan, komunikasi terbuka, dan penetapan aturan yang konsisten.Di beberapa sekolah, pendekatan literasi digital sudah mulai diajarkan sejak kelas rendah. Anak-anak diberi pemahaman tentang bagaimana memilih konten, mengenali informasi palsu, dan merasakan sopan santun saat berkomunikasi di dunia maya. Pendidikan seperti ini menjadi semakin penting karena dunia masa depan mereka akan dipenuhi teknologi. Membekali anak untuk hidup berdampingan dengan perangkat digital jauh lebih bijak daripada menutup akses sepenuhnya.Kini, di berbagai daerah di Indonesia, muncul pola baru: gawai bukan lagi musuh belajar, melainkan bagian dari ekosistem pendidikan. Anak-anak memanfaatkannya untuk membaca buku digital, membuat poster, menyusun presentasi, melakukan simulasi matematika, hingga memecahkan teka-teki logika. Teknologi membantu mereka menemukan ritme belajar yang sesuai dengan karakter masing-masing.Perubahan ini membuktikan satu hal: dunia pendidikan tidak boleh direfleksikan pada pandangan lama. Selama teknologi diposisikan sebagai alat bantu—bukan pengganti—interaksi manusia, gawai dapat memperkaya proses belajar. Justru dengan pendampingan yang tepat, anak-anak dapat tumbuh menjadi pembelajar adaptif yang mampu menggunakan teknologi secara kreatif dan bertanggung jawab.Dan pada intinya, gadget tidak lagi menjadi sosok yang ditakuti, melainkan kawan yang membantu anak-anak menjelajahi pengetahuan lebih jauh. Dunia mereka berkembang bukan karena dijauhkan dari layar, tetapi karena diberi kesempatan menggunakan teknologi sebagai jendela belajar yang lebih luas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |