Hutan Adat Bantu Serap Karbon dan Kurangi Emisi, Ini Kata Kementerian

3 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Julmansyah, menegaskan penetapan hutan adat hanya dilakukan pada kawasan yang masih memiliki tutupan hutan. Kebijakan ini dinilai strategis untuk mendukung penyerapan karbon sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan.

“Kami menetapkan hutan adat hanya di area berhutan, baik di Areal Penggunaan Lain (APL) maupun kawasan hutan. Jika tidak ada hutannya, tidak akan kami tetapkan,” ujar Julmansyah di Jakarta, Kamis (8/8/2025).

Menurutnya, vegetasi di hutan adat memainkan peran penting dalam proses penyerapan karbon (carbon sequestration). Semakin masyarakat adat menjaga kelestarian hutan, semakin besar pula kontribusinya terhadap pengurangan emisi karbon.

“Faktanya, masyarakat adat telah menjaga hutannya dengan baik. Misalnya di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), terdapat hutan adat Jake yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit. Hutan itu tetap lestari dan menjadi sumber bahan baku kayu untuk tradisi Pacu Jalur,” jelasnya.

Meski demikian, pemerintah belum menghitung secara rinci volume penyerapan karbon dari hutan adat. Fokus saat ini masih pada penyelesaian kepastian tenurial dan pengakuan hak masyarakat adat atas hutan.

“Kami berharap ke depan, hutan adat yang telah ditetapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap penyerapan emisi, karena masyarakat akan terus mempertahankan tutupan hutannya,” lanjut Julmansyah.

Selain aspek lingkungan, hutan adat juga menjadi penopang ekonomi masyarakat. Ia mencontohkan masyarakat Punan di Kalimantan dan masyarakat adat di Sorong, Papua, yang menggantungkan hidup pada sagu sebagai makanan pokok.

“Kami memproteksi hutan sagu sebagai hutan adat agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup. Meskipun nilai ekonominya kecil, kontribusinya sangat vital untuk ketahanan pangan,” ujarnya.

Di Kalimantan Barat, potensi ekonomi dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) mulai dikembangkan. Salah satunya adalah ekspor mentega dari buah tengkawang yang diproduksi masyarakat adat, dengan potensi pengiriman mencapai 18 ton.

“Dengan mengelola hasil hutan bukan kayu, masyarakat dapat meningkatkan pendapatan, baik dari ekowisata, HHBK, maupun potensi perdagangan karbon di masa depan,” kata Julmansyah.

Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen mempercepat penetapan hutan adat guna memperkuat perlindungan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Saat ini, proses verifikasi dan penetapan terus berjalan di berbagai daerah.

Read Entire Article
Politics | | | |