Kenapa Gen Z Susah Merasa Cukup?

2 hours ago 3

Image Susi setyo

Curhat | 2025-12-10 18:52:10

Ilustrasi Generasi Z: Si Paling Membandingkan Diri [BP2M/Feby]Oleh: Noni Aprili Jasmine Amanda

Di Era Digital yang serba cepat ini, hidup rasanya seperti kompetisi tanpa ada garis akhir. Setiap hari kita disuguhi dengan melihat pencapaian dari orang lain, teman yang lulus universitas impian, menang lomba, punya bisnis sukses di usia 19 tahun, exchange ke luar negeri atau yang sekedar healing ke luar negeri setiap akhir pekan. Semua terlihat keren selain diri kita sendiri.
Semua hal ini terjadi bukan cuma tentang iri hati. Lebih dari itu ada rasa yang diam-diam tidak pernah cukup untuk diri sendiri. Kita bisa memiliki banyak pencapaian, tapi apakah dengan pencapaian itu kita bisa merasa cukup?

1. Sosial Media Sebuah Mesin Pembanding Tanpa Henti

Pada saat ini kita hidup dimana semua hal bisa dibagikan, mulai dari sebuah pencapaian, cerita hidup bahkan hal kecil sekalipun. Tapi di balik sebuah unggahan pencapaian tersebut banyak yang tidak tahu proses dan tekanan di balik layar. Masalahnya, dengan melihat unggahan pencapaian tersebut muncul sebuah perasaan "kok hidupku gini-gini aja ya?"
Scrol sosial media yang awalnya cuma buat hiburan, lama-lama bisa jadi sumber stres buat diri sendiri. Tanpa disadari kita sedang membandingkan diri kita yang work in progress dengan versi terbaik orang lain.

2. Budaya Produktif Tanpa Henti

Gen Z tumbuh dengan tekanan untuk selalu produktif. Istirahat aja harus "bermanfaat", takut terlihat santai, takut dibilang malas, dan takut ketinggalan. Padahal, nggak apa-apa kok kalau hari ini cuma mau diam dan istirahat, karena tubuh kita juga butuh istirahat dengan tenang, salah satunya tenang dari pemikiran yang tidak-tidak. Tapi di kepala Gen Z muncul suara kecil "Kamu harusnya bisa lebih, seharusnya aku juga bisa kayak dia." Rasa cukup jadi terasa jauh, karena ukuran keberhasilan terus berubah. Begitu satu target tercapai, kita buru-buru pasang target baru tanpa sempat merasa bangga pada diri sendiri.

3. Sebuah Validasi yang Jadi Tolak Ukur

Kita belajar mencintai diri sendiri tapi seringkali lewat like, views, dan followers yang ada di media sosial. Saat dunia digital memberi penghargaan lewat angka kita mulai menilai diri sendiri dengan ukuran yang sama. Masalahnya validasi itu cepat hilang, contohnya hari ini viral besok dilupakan, dan akhirnya kita terus mencari pengakuan baru supaya tetap merasa berarti, padahal ketika kita mencintai diri sendiri tanpa melihat tolak ukur sebuah validasi hal tersebut sudah sangat berarti bagi diri sendiri.

4. Mungkin Arti Cukup Bukan Soal Banyaknya, Tapi Soal Berhenti Membandingkan Diri Dengan yang Lainnya

Mungkin rasa cukup bukan datang dari kita punya segalanya, tapi dari berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Arti cukup bisa dibilang "aku memang belum sampai, tapi aku sudah berjalan selama ini." Cukup adalah cara kita mensyukuri sebuah proses bukan hanya hasil yang diraih.
Gen Z sering dianggap generasi paling melek teknologi dan paling adaptif. Tapi dibalik itu banyak yang diam-diam lelah karena terus mengejar "cukup" yang tak pernah ada ujungnya. Mungkin sekarang saatnya berhenti sejenak, menarik nafas dan bilang kepada diri sendiri "aku sudah cukup, aku belajar, berproses, setelah ini aku akan lebih menghargai diriku sendiri, tanpa membandingkan diri dengan orang lain." Karena bentuk cinta terhadap diri sendiri itu adalah bagaimana kita bisa bersyukur menghargai diri sendiri tanpa menganggap diri kita kurang terus-menerus.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |