Kisruh Royalti Musik dan Pesan Imam Ali Bin Abi Thalib

2 hours ago 1

Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di Indonesia, polemik soal royalti lagu kembali mencuat. Sebagian pemilik kafe dan restoran mengeluh karena merasa dibebani pungutan atas musik yang mereka putar.

Di sisi lain, para musisi dan pencipta lagu menuntut hak mereka atas karya yang telah dibuat dengan keringat, air mata, dan kreativitas. Perdebatan ini kelihatannya sekadar urusan tarif, hukum, atau regulasi.

Namun jika ditarik lebih dalam, kasus ini mencerminkan dilema besar zaman kita: ketika seni kehilangan ruhnya karena segala hal telah dibungkus oleh logika ekonomi.

Musik, pada hakikatnya, adalah bentuk ekspresi terdalam manusia. Ia adalah suara jiwa yang mencari makna, menyuarakan luka dan cinta, serta menjembatani yang tak bisa diungkapkan dengan kata.

Namun dalam masyarakat modern, musik telah menjadi komoditas: dipasarkan, diberi harga, dan dipertarungkan dalam sistem royalti dan algoritma. Yang diukur bukan lagi kedalaman makna, tapi jumlah putaran, rating, dan potensi monetisasi.

Musik tidak lagi ditulis demi keindahan atau pesan kemanusiaan, melainkan demi trending dan profit.

Pergeseran ini bukan hanya terjadi dalam dunia musik. Sudah sejak lama kita menemukan betapa dokter tak lagi selalu menjadi tabib yang menyembuhkan karena cinta kemanusiaan, tapi sering menjadi eksekutor sistem kesehatan yang tersandera asuransi dan tarif rawat inap.

Guru dan dosen tak lagi sekadar pendidik nilai dan pembangun karakter, tetapi pengumpul angka kredit dan pemburu “proyek” penelitian. Politisi bukan lagi negarawan yang mengabdi untuk rakyat, melainkan manajer elektoral yang didorong oleh logika donor dan elektabilitas.

BACA JUGA: Pengibaran Bendera One Piece, Badan Siber Ansor: Silakan tapi Jangan Sampai…

Dan tentu, pengacara—yang secara historis adalah penjaga keadilan dan pembela yang lemah—kini tak jarang menjelma menjadi penyedia jasa hukum yang berpihak pada siapa yang mampu membayar lebih besar.

Idealismenya sebagai penegak keadilan perlahan terpinggirkan oleh kebutuhan akan fee, klien besar, dan reputasi. Bahkan dalam beberapa kasus, hukum tak lagi bicara tentang benar dan salah, melainkan siapa yang punya kemampuan retorika dalam menafsirkan dan memenangkan perkara; dan dengan itulah ia dibayar mahal.

Read Entire Article
Politics | | | |