REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permainan daring Roblox sedang menjadi sorotan. Di satu sisi, popularitasnya di kalangan anak-anak tak terbantahkan, namun di sisi lain platform ini memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
PB Esports Indonesia (PBESI) menyarankan pendampingan orang tua yang aktif dan melek digital ketika anak-anak bermain Roblox. Wakil Ketua Bidang Kompetisi PB ESI, Glorya Famiela Ralahallo, atau yang akrab disapa Ella, melihat Roblox sebagai potensi besar. "Roblox bisa menjadi wadah eksplorasi kreativitas, bahkan titik awal untuk anak yang tertarik belajar coding atau desain game," kata dia pada Rabu (6/8/2025).
Menurut Ella, game juga bisa menjadi sarana belajar dan berinteraksi yang membuka peluang karier. Namun, ia tak menampik adanya sisi gelap. Karena banyaknya konten buatan pengguna dari seluruh dunia, banyak konten yang tidak tersaring, termasuk yang mengandung unsur kekerasan dan horor. "Jadi, saran saya game itu dimainkan di usia minimal 10 tahun. Tapi, kalaupun di bawah itu, harus dengan pengawasan orang tua yang super aktif, karena ada beberapa game yang mengandung unsur kekerasan, horor, dan lain-lain," ujar Ella.
Ella berpendapat bahwa melarang anak-anak bermain game bukanlah solusi terbaik. Sebaliknya, orang tua harus menjadi bagian dari perjalanan digital anak. "Edukasi digital parenting penting di era sekarang, jadilah bagian dari perjalanan digital anak, bukan sekadar pengawas," ujarnya.
Ia menyarankan orang tua menggunakan aplikasi kontrol dan memantau akun anak secara berkala, membatasi waktu bermain, serta memastikan anak tetap memiliki aktivitas fisik dan mengerjakan tugas sekolah. Komunikasi terbuka dipandang juga menjadi kunci, di mana orang tua bisa mendiskusikan game yang sedang disukai anak.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, mengingatkan bahaya permainan Roblox saat meninjau pelaksanaan layanan Cek Kesehatan Gratis Sekolah di SDN Cideng 2, Jakarta Pusat, Senin (4/8/2025). "Kalau main HP tidak boleh menonton kekerasan, yang di situ ada berantemnya, di situ ada kata-kata yang jelek-jelek, jangan nonton yang tidak berguna ya. Nah yang main blok-blok (Roblox) tadi itu jangan main yang itu ya karena itu tidak baik ya,” kata Mu'ti.
Ia berpendapat, anak-anak di usia sekolah dasar belum mampu membedakan antara adegan nyata dan rekayasa, dan mereka adalah peniru ulung. Tanpa literasi digital yang memadai, mereka bisa meniru tindakan-tindakan kekerasan yang mereka lihat di game.
Kekhawatiran serupa disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Arifatul Choiri Fauzi. Ia menekankan pentingnya peran pengawasan orang tua dan pola asuh keluarga dalam menghadapi maraknya penggunaan Roblox.
"Ini kan harus ada pengawasan dari orang tua juga ya, jadi pola asuh dalam keluarga harus diperhatikan,” ujarnya. Arifatul juga secara berkelanjutan melakukan sosialisasi untuk membangun pola asuh yang tidak hanya berfokus pada penggunaan gadget, tetapi juga aspek perkembangan anak secara keseluruhan.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, menegaskan bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah memiliki instrumen seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang perlindungan anak di ruang digital (PP Tunas).
Angga juga menekankan perlindungan anak di ruang digital adalah tanggung jawab bersama pemerintah, orang tua, dan media. Klasifikasi usia dalam game digital dinilai menjadi sangat penting dan harus diawasi penerapannya. Namun, ia kembali mengingatkan bahwa peran keluarga sangat krusial dalam memberikan pemahaman dan etika dalam penggunaan teknologi.
“Edukasi itu penting, pengawasan orang tua itu penting. Jadi anak juga sejak dini sudah diajarkan bahwa ya diajarkan menggunakan teknologi, tapi dia juga harus tahu batasan-batasan, dia tahu norma-norma yang ada, yang jelas hal-hal positif lah yang harus menjadi pembelajaran buat anak-anak dan generasi bangsa kita,” ujar Angga.