Menyalakan Semangat 80 Tahun RI, Zakat Produktif untuk Pesantren Mandiri

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ade Sofyan Mulazid, (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Yudhiarma (mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Pada 17 Agustus 2025, Indonesia akan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-80. Untuk ini, pemerintah menetapkan tanggal 18 sebagai libur nasional. Sejarah mencatat, ulama dan pelajar dari pondok pesantren menjadi salah satu ujung tombak dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga 22 Oktober diputuskan sebagai Hari Santri, untuk mengenang Resolusi Jihad yang digelorakan KH Hasyim Asy’ari pada 1945 sebagai komando umat melawan penjajah.

Pesantren telah lama menjadi pusat pendidikan dan pembinaan moral umat di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Namun, banyak pesantren masih menghadapi tantangan besar dalam aspek pendanaan operasional dan pengembangan kelembagaan.

Menurut hasil riset Balitbang Kemenag (2022), lebih dari 70% pesantren masih menggantungkan operasional harian pada dana non-produktif. Hal ini membuat pesantren rentan dalam menghadapi perubahan dinamika sosial ekonomi, seperti inflasi, resesi, atau pandemi. Ketergantungan terhadap donatur, sumbangan masyarakat, dan infak harian kerap menjadi sumber utama pemasukan pesantren.

Di sisi lain, zakat sebagai instrumen keuangan Islam memiliki potensi besar untuk mengatasi ketimpangan sosial dan mendorong kemandirian ekonomi umat. Salah satu pendekatan yang semakin relevan dalam konteks modern adalah zakat produktif, yaitu pengelolaan dana zakat dengan orientasi pemberdayaan.

Ketua Baznas RI, Noor Achmad menekankan zakat harus menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi pesantren, tidak sekadar bantuan konsumtif. Seperti melalui Zmart Pesantren, BAZNAS ingin sekolah Islam berasrama itu tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi.

Program ini, dirancang agar pesantren memiliki unit usaha ritel, seperti minimarket, di mana santri langsung dilibatkan dalam pengelolaan usaha sebagai bekal kewirausahaan santri.

Penelitian Nurul Huda (2024), menunjukkan bahwa program zakat produktif BAZNAS hanya meningkatkan aspek ekonomi, tetapi belum membangun kemandirian secara menyeluruh, karena belum ada pelatihan manajemen usaha dan pendampingan yang berkelanjutan. Hal ini juga diperkuat penelitian BAZNAS yang menemukan bahwa sekitar 60% mustahik gagal mengembangkan usaha di lingkungan pesantren karena keterbatasan keterampilan dan minimnya pendampingan rutin.

Sejumlah penelitian sebelumnya yang telah mengkaji tentang zakat produktif untuk kemandirian pesantren, seperti Dodik G. Islami & Nurwahidin (2024) menunjukkan bahwa zakat produktif yang dikelola Pesantren An Naba turut memberdayakan mualaf sebagaimana mustahik, sehingga meningkatkan produktivitas dan semangat kewirausahaan santri.

Hamdan Yuhafi (2020) melakukan analisis kuantitatif terhadap pengaruh zakat produktif terhadap pendapatan mustahik santri. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan setelah intervensi zakat produktif. Efendi (2025) mengkaji tantangan dan peluang zakat produktif dalam pemberdayaan ekonomi di Indonesia. Tantangan utama yang diidentifikasi mencakup distribusi yang tidak efektif, kurangnya kapasitas manajemen, dan minim pendampingan.

Dengan memanfaatkan zakat produktif, pesantren memiliki peluang untuk membangun unit usaha mandiri seperti pertanian, koperasi, peternakan, percetakan kitab, atau warung santri. Unit usaha ini dapat menjadi sumber pemasukan berkelanjutan untuk pesantren, mengurangi ketergantungan terhadap donatur, serta membuka lapangan kerja bagi santri dan masyarakat sekitar.

Namun demikian, implementasi zakat produktif untuk unit usaha pesantren masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah rendahnya literasi pengelolaan zakat produktif, minimnya sinergi antara pesantren dan lembaga pengelola zakat, serta keterbatasan kapasitas manajerial pesantren dalam mengelola unit usaha secara profesional.

Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam bagaimana zakat produktif dapat diimplementasikan secara strategis di lingkungan pesantren, agar lembaga pendidikan Islam ini mampu berdiri secara mandiri, berkelanjutan, dan memberi kontribusi nyata bagi kemandirian ekonomi umat.

Read Entire Article
Politics | | | |