Aku ingat, saat pertama kali ayah pulang dari Malaysia, wajahnya begitu ceria dan tak luput dari garis tipis manis di bibirnya yang menggambarkan kebahagian atas pertemuan penuh haru hari itu. Suasana begitu cerah, angin dari laut menggemparkan daun-daun di tepi pantai. Banyaknya pasir ikut terbawa udara siang itu, menyapu lembut kaki hitamku. Betapa tak menyangkanya aku, untuk pertama kalinya impian-impian yang kusimpan akhirnya telah terwujud.
Pertama, ayah pulang. Kedua, ibu hamil muda dan ketiga, parabola. Pasti banyak sekali tontonan yang akan aku saksikan. Kartun-kartun lucu dan sinetron yang sering aku lihat di televisi warung kopi.
Rumah kami terletak dekat sekali dengan mesjid, tidak jauh dari situ ada sungai sekaligus untuk irigasi. Jadi, jika tidak nonton atau bermain dengan teman, aku akan nyemplung ke sungai jika beruntung aku akan mendapat ikan.
Masa kecil bukan tentang keindahan masa bermain. Aku melihat masa lalu yang terdalam dari sosok wajah ayah. Dan ibu berwajah teduh saat senyuman terlintas di desah nafas lelahnya. Walau kadang mengoceh jika aku nakal, tetapi dari situlah aku belajar artinya kasih sayang. Betapa beruntungnya aku, memiliki ibu yang amat mencintai anak dan suaminya. Saling membela tanpa melempar kesalahan.
"Ayahmu telah berjuang untukmu dan adik-adikmu. Ia rela tangannya terbilas air asam demi membuat rakit atau kabel. Bahkan nasi dan tanpa lauk itu udah cukup. Asal ia punya tenaga untuk bekerja."
Lalu ayahpun membela ibu.
"Setiap malam, di saat orang lain nyenyak tertidur, bergurau dengan tetangga, dan makan dengan tenang, ia malah rela melepaskan waktunya untuk memberikan kasih sayang tanpa batas. Saat mengunyah di situ ia mencium wangi air kencing dan kotoranmu, mengelap lendir hidungmu, lalu ia makan terkadang tanpa mengelap tangan."
Begitulah kira-kira ayah dan ibu mengulang pembelaan itu. Sampai waktunya tiba, aku telah beranjak remaja, lalu tak lama aku masuk ke perguruan tinggi. Kami berpisah karena aku harus merantau. Terlebih aku dari desa dan tidak berbekal pengalaman bepergian membuat ayah dan ibu cemas denganku.
Aku belajar dengan penuh keyakinan dan gigih. Sadar jika aku miskin. Cita-citaku adalah orangtuaku bahagia, menikmati barang-barang yang belum mampu mereka beli, makanan yang belum pernah mereka cicipi, dan pergi ke tempat-tempat terbaik.
Saat aku wisuda, kenyataannya tidak seperti harapan. Butuh waktu dan kesabaran untuk berubah. Beberapa penolakan aku terima, meskipun nilai dan kemampuan bahasa serta teknologi ku sangat bagus. Sebuah perusahaan asal Eropa menerimaku. Untuk ke sana aku butuh biaya perjalanan. Selain rumah, tidak ada lagi yang dapat dijual. Akhirnya, kalian sudah pasti tahu, ayahku benar-benar berkorban, rumah yang dibangun bersusah payah digadaikan.
Lima tahun aku berada di negara dengan berbagai musim ini. Bertahan dari serangan cuaca serta hampir putus asa. Tetapi benar kata ayah, tidak ada yang benar-benar tulus mencintaimu kecuali kamu memiliki mental dan tekad. Ayah dan ibu hanya berusaha mendukung dengan apapun yang ada.
Sepulang dari Eropa, lihatlah parabola dulu yang sering menjadi tontonan hari-hariku telah berkarat dan salah satu payungnya telah tumbang. Kulihat ayah duduk di teras sambil menatap kosong ke depan. Ia biasa melakukan itu, karena gemar membayangkan sesuatu yang bahagia. Tentang udara sawah yang akan membawanya kebahagiaan. Ibu, sudah lama aku tak melihat wajah tulusnya. Ia sedang dibelakang menyapu dengan tubuh bungkuknya. Mengelap keringat dengan kerudungnya, lalu ayah datang dengan kaki bergetar meminta sapu ibu untuk ia bersihkan. Seperti biasa, mereka kembali beradu untuk mengerjakannya.
Aku memanggil keduanya, dan mata mereka menyipit akupun menyusul. Lalu bersimpuh di kaki ayah dan ibu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.