Pedagang Kelontong Asal Kediri Berangkat Haji Setelah 16 Tahun Menabung Rp 20 Ribu Sehari

3 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pepatah sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit rasanya pantas menggambarkan perjuangan Sri Dewi. Jamaah haji asal Surabaya, Jawa Timur ini berangkat haji dari hasil uang tabungannya selama 16 tahun.

Sambil menunggu persiapan pengecekan administrasi di tengah kesibukan persiapan keberangkatan haji di Asrama Haji Embarkasih Surabaya, Sri Dewi tampak duduk tenang menggenggam tas kecil. Sri Dewi bercerita jika dia adalah seorang pedagang kelontong dari Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang berhasil mewujudkan niatnya menunaikan naik haji lewat cara menabung Rp 20 ribu setiap hari.

Calon haji asal Desa Wates, sebuah daerah yang tak jauh dari pusat Kabupaten Kediri itu kini sudah berusia 66 tahun, namun semangatnya tak membuatnya surut untuk menjalankan ibadah rukun Islam yang kelima. Kondisi ekonomi keluarga yang sederhana tak menyurutkan keinginannya untuk menunaikan ibadah wajib itu bagi yang mampu itu. Bukan lewat bantuan orang lain, bukan pula dari hasil warisan, melainkan dari tabungan kecil yang ia kumpulkan sendiri, hari demi hari, selama bertahun-tahun.

Perjalanan spiritualnya dimulai pada 2009, saat niat berhaji mulai tumbuh dalam hati. Saat itu, ia dan suaminya belum memiliki cukup uang, apalagi anak-anak mereka masih kecil. Namun, niat yang tulus menjadi pijakan awal dalam langkah panjangnya menuju tanah suci.

Berkah kotak kayu

Sebagai seorang yang hidup dengan sederhana dan belum banyak menerima literasi keuangan, Sri mengandalkan "kotak kayu" untuk menabung keberkahan menuju Makkah. "Saya ini orang desa, tidak biasa ke bank. Jadi saya simpan uangnya di kotak saja," ucap Sri Dewi sambil tersenyum.

Sejak 2009, ia mulai menyisihkan uang sebesar Rp 20 ribu setiap hari dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak kayu di rumah. Kotak itu menjadi saksi bisu perjuangannya, yang akhirnya membuahkan hasil pada 2012, saat tabungannya mencapai Rp 25 juta dan cukup untuk mendaftar haji.

Ia merasa belum perlu menitipkan uangnya ke lembaga keuangan. Baginya, kesederhanaan dalam menabung tidak mengurangi makna dari usahanya. Meski warung kecilnya hanya menjual kebutuhan pokok warga sekitar, ia tetap menyisihkan uang dari hasil dagangannya dengan disiplin.

Warung itu mulai ia rintis sejak 1995, awalnya di rumah kontrakan. Bermodal niat dan sedikit uang, ia menyediakan kebutuhan harian warga sekitar, dari beras, minyak, hingga jajanan ringan. Dari warung itulah, uang Rp20 ribu setiap hari ia sisihkan, tanpa pernah bolong.

sumber : Antara

Read Entire Article
Politics | | | |