Pelemahan Dolar AS Bisa Jadi Malapetaka Buat Bank Sentral Asia, Kok Bisa?

18 hours ago 4

loading...

Pergerakan Dolar Baru Taiwan mungkin merupakan langkah paling dramatis minggu ini, meski dolar AS juga melemah terhadap beberapa mata uang minggu ini. Foto/Dok

JAKARTA - Dolar Baru Taiwan menjadi berita utama minggu ini setelah menguat lebih dari 5% terhadap dolar AS (USD) , sebelum bank sentral campur tangan untuk menahan apa yang dianggapnya sebagai arus masuk 'berlebihan'.

Pergerakan Dolar Baru Taiwan mungkin merupakan langkah paling dramatis minggu ini, meski dolar AS juga melemah terhadap beberapa mata uang minggu ini, termasuk ringgit Malaysia, dolar Singapura, dan rupiah Indonesia.

Bahkan Otoritas Moneter Hong Kong, yakni bank sentral baru-baru ini harus menjual dolar Hong Kong untuk mempertahankan nilai tukarnya terhadap dolar AS. Selama bertahun-tahun, beberapa negara Asia bergulat dengan dolar AS yang terlalu kuat, mereka mengeluhkan bahwa hal itu berkontribusi pada inflasi.

Baca Juga: Mata Uang Asia Ramai-ramai Balik Melawan Dolar AS

Pasalnya penguatan dolar menjadi menjadikan impor yang diperlukan seperti makanan dan bahan bakar menjadi lebih mahal. Saat ini, negara-negara itu mendapatkan apa yang mereka inginkan -dolar yang melemah-, tetapi dampaknya sepertinya menjadi negatif bagi beberapa kelompok.

Pada awal pekan, Gubernur Bank Sentral Taiwan, Yang Chin-long mengatakan, bahwa para pembuat kebijakan memberikan intervensi ke pasar untuk mengurangi aliran dana "berlebihan", tanpa memberikan detail yang dilakukan.

Pernyataan ini mencuat dipicu lonjakan mendadak nilai Dolar Baru Taiwan dalam dua hari yang mencapai 9% terhadap dolar AS. Bos bank sentral Taiwan juga membantah bahwa nilai tukar mata uang merupakan bagian dari negosiasi perdagangan dengan AS.

"Volatilitas nilai tukar asing adalah momok bagi para pembuat kebijakan moneter," kata Direktur dan ekonom utama di konsultan Asia Decoded, Priyanka Kishore seperti dilansir Fortune.

Para pembuat kebijakan moneter mungkin tidak peduli tentang arah pergerakan mata uang, tetapi mereka tetap ingin pergeseran berlangsung stabil.

"Volatilitas yang meningkat, jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama, memicu ketidakpastian dan memiliki konsekuensi finansial serta dampak ekonomi yang nyata," kata Kishore.

Read Entire Article
Politics | | | |