REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hampir satu dekade sejak kebijakan Hutan Adat diberlakukan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan wilayah kelola mereka masih berjalan lambat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akhirnya membentuk satuan tugas (Satgas) untuk mempercepat penetapan hutan adat di berbagai daerah.
“Kalau kita melihat ke belakang, kebijakan hutan adat ini ada sejak 2016. Jadi hampir 10 tahun kebijakannya, akan tetapi agak sedikit lambat proses pengakuan masyarakat atau proses pengakuan hutan adat dan masyarakat hukum adat,” kata Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Julmansyah, dalam diskusi publik menyambut Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, Rabu (7/8/2025).
Berdasarkan data KLHK, hingga Juni 2024 telah ditetapkan 156 unit masyarakat hukum adat dengan luasan sekitar 332 ribu hektare hutan adat. Namun, distribusi pengakuan ini masih timpang di sejumlah wilayah.
Sumatra Barat, misalnya, mencatat 89 komunitas adat telah diakui pemda, tetapi baru satu unit yang ditetapkan sebagai hutan adat oleh KLHK. Di Bengkulu, dari 26 komunitas adat yang diakui, baru lima unit ditetapkan. Kalimantan Tengah lebih sedikit lagi. Dari 13 komunitas, baru satu hutan adat yang disahkan.
Julmansyah menyebut, keterlambatan pengakuan bukan hanya soal prosedur di KLHK, tapi juga karena banyak MHA belum memiliki pengakuan resmi dari pemerintah daerah.
“Kalau kita bicara tentang penetapan masyarakat hukum adat oleh pemerintah daerah, kita harus memahami bahwa ini menyangkut bagaimana keberadaan mereka secara historis, secara geneologis, dan wilayah adatnya. Jadi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujarnya.
Satgas yang dibentuk KLHK kini tengah memetakan kembali wilayah-wilayah adat yang telah masuk Peta Indikatif Hutan Adat (PIHA) dan belum ditindaklanjuti. Validasi data juga terus dilakukan, agar tidak terjadi tumpang tindih atau simpang siur antara kementerian dan pemerintah daerah.
“Melalui satgas ini, kita bisa menelusuri mana masyarakat hukum adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah, yang sudah memiliki peta indikatif, dan yang belum. Sehingga bisa kita identifikasi titik lemah dan faktor penghambatnya,” kata Julmansyah.
Ia menekankan pentingnya kemauan politik dari semua pemangku kepentingan untuk mendorong pengakuan MHA.
“Ada satu kata kunci yang perlu dikuatkan dan ini menjadi dasar pembentukan satuan tugas, yaitu adanya political will. Itu dulu yang harus disampaikan ke publik. Kalau tidak ada keinginan politik untuk mendorong pengakuan masyarakat adat, ya akan lambat prosesnya,” ujarnya.
KLHK juga mendorong kementerian lain seperti ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri untuk terlibat aktif. Dalam waktu dekat, Satgas akan menggelar pertemuan bersama pemda yang daerahnya sudah memiliki komunitas adat yang diakui secara hukum, namun belum ditetapkan hutan adatnya.