Perbedaan Bukan Penghalang bagi Persatuan

23 hours ago 7

Image Dr. H. Dana, M.E.

Pendidikan dan Literasi | 2025-05-11 17:04:32

Di zaman media sosial, orang mudah sekali menilai dengan sedikit potongan gambar, sepenggal ucapan, atau sebuah simbol yang tampak mencolok. Tak jarang orang terlalu cepat mengambil kesimpulan, tanpa ruang untuk bertanya atau mempelajarinya lebih jauh apa yang sebenarnya sedang dinilai dan dibicarakan?

Sosok Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang dikenal luas lewat narasi-narasi budaya Sunda, adalah salah satu contoh figur yang berada dalam pusaran penilaian seperti itu. Sebagian umat Islam, terutama yang sensitif terhadap isu akidah dan kemurnian tauhid, merasa terusik oleh penggunaan simbol-simbol adat seperti arca, sesaji, dan ritual budaya yang Kang Dedi tampilkan dalam ruang publik. Bagi mereka, ekspresi semacam itu dinilai bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Kekhawatiran pun muncul, jangan sampai masyarakat justru terseret kembali pada praktik-praktik kepercayaan lama yang menyimpang dari tauhid.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat dalam ajaran Islam, syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni jika pelakunya tidak bertaubat. Karena itu, sensitivitas terhadap simbol-simbol yang berpotensi mengaburkan batas antara budaya dan akidah adalah hal yang wajar dan sah untuk dikemukakan dalam ruang publik yang sehat.

Kang Dedi sendiri, dalam berbagai kesempatan, menjelaskan bahwa yang ia tampilkan adalah warisan kultural. Ia mencoba mempertemukan nilai-nilai Islam dengan akar budaya masyarakat Sunda yang telah ada jauh sebelum Islam datang. Ia tidak berbicara sebagai ustaz atau ulama, tetapi sebagai figur sosial-politik yang mencoba menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Kritik terhadap simbol-simbol adat yang digunakan KDM adalah bagian dari dinamika keilmuan dan kewaspadaan terhadap kemurnian tauhid. Kita bisa tidak sepakat terhadap sebagian ekspresi simboliknya, namun tetap mengakui kontribusinya dalam merawat identitas lokal, membela masyarakat kecil, dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, mendukung narasi kebudayaan seperti yang dibawa KDM tidak harus berarti menafikan pandangan para ulama. Justru ini menjadi momen penting untuk mempertemukan dua dunia yang sering dianggap saling bertentangan. Islam dan budaya keduanya bisa saling melengkapi, selama diposisikan dengan benar.

Tulisan ini bukan untuk membela siapa-siapa. Tapi justru untuk mengajak kita semua mengambil posisi tengah, agar tidak mudah kagum tanpa kritis, dan tidak mudah menuduh tanpa pengetahuan yang pasti. Di tengah zaman penuh polarisasi, kita butuh lebih banyak jembatan daripada tembok penghalang. Kita butuh keberanian untuk melihat manusia secara utuh bukan hanya dari simbol yang dikenakan, tapi dari nilai yang dibawa, niat yang ditanam, dan manfaat yang dirasakan.

Perbedaan pandangan terhadap figur publik seperti Kang Dedi Mulyadi sejatinya merupakan hal yang wajar dalam masyarakat yang majemuk. Namun, perbedaan itu tidak seharusnya menjadi penghalang bagi persatuan, apalagi sampai merusak ruang kebersamaan yang telah lama dibangun. Justru di sinilah pentingnya kedewasaan dalam menyikapi setiap tokoh, mengambil nilai-nilai positif yang mereka hadirkan, mengapresiasi upaya yang membawa dampak baik, serta tetap kritis terhadap hal-hal yang memang perlu dikritisi, tanpa harus terjebak pada sikap menolak secara total atau mendukung membabi buta tanpa pertimbangan. Ruang publik kita akan jauh lebih sehat jika diwarnai dengan sikap saling menghargai dan semangat untuk belajar dari siapa pun yang menghadirkan manfaat, meskipun tidak semua hal dari orang tersebut sepenuhnya kita setujui.

Kang Dedi Mulyadi menjadi sosok yang menarik untuk dicermati, bukan hanya karena kontroversi yang menyertainya, tetapi juga karena keberaniannya menghidupkan kembali jati diri orang Sunda yang lemah lembut dalam sikap, tetapi tetap berani dan tegas dalam prinsip. Serta mampu berdiri kokoh tanpa kehilangan kehalusan rasa. Sebuah karakter budaya yang perlahan ingin ia tunjukkan kembali kepada publik sebagai bagian dari identitas yang patut dibanggakan, bukan disembunyikan.

Dari sisi kebijakan, terdapat beberapa program dan langkah Kang Dedi yang semangatnya tidak sepenuhnya baru. Beberapa di antaranya memiliki akar pada warisan kebijakan para pemimpin daerah sebelumnya. Akan tetapi, kekuatan Kang Dedi terletak pada cara ia menyampaikan dan mempresentasikan nilai-nilai itu ke tengah masyarakat. Gaya komunikasinya yang komunikatif dan penuh simbol budaya membuat ide-ide tersebut lebih mudah diterima, dikenali, dan diapresiasi oleh publik saat ini.

Kang Dedi Mulyadi tidak selalu harus disetujui, tetapi ia layak diberi ruang untuk membuktikan gagasan dan kesungguhannya dalam membangun Jawa Barat. Komitmennya terlihat nyata mulai dari upaya memberantas premanisme, menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang membentuk karakter masyarakat, hingga memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil dengan pendekatan yang merakyat dan membumi.

Dalam konteks ini, alih-alih menutup pintu dengan penolakan, lebih bijak jika kita membuka ruang dialog yang sehat. Umat Islam sendiri memiliki warisan intelektual yang kaya, dengan pendekatan dakwah yang beragam, kontekstual, dan penuh kearifan. Maka sudah sepatutnya warisan itu kita rawat, bukan dengan menambah kebisingan penolakan, tetapi dengan menghadirkan gagasan yang lebih solutif, membumi, dan menyentuh realitas masyarakat.

Setiap tokoh publik akan selalu membawa sisi yang bisa disukai sekaligus dipersoalkan. Namun kematangan kita sebagai masyarakat diuji bukan pada seberapa keras kita bersuara, melainkan seberapa jernih kita bisa menimbang, menilai, dan merespons. Kritik tetap penting, tetapi akan lebih berarti jika disertai tawaran jalan keluar. Kewaspadaan terhadap akidah harus terus dijaga, namun ikhtiar membangun masyarakat juga tak kalah mendesak. Maka, di tengah silang pandang yang ada, semoga kita mampu menempatkan kebaikan di atas ego, dan mengedepankan maslahat umat di atas sekadar menang dalam perdebatan.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |