REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA — Ratusan negara saat ini berkumpul di Jenewa, Swiss, menghadiri sesi kelima bagian kedua perundingan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2). Pertemuan ini bertujuan menghasilkan perjanjian global yang mengikat secara hukum guna mengakhiri polusi plastik.
Apa itu INC-5.2 dan mengapa pertemuan ini penting?
Pertemuan di Jenewa digelar lebih dari tiga tahun setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat merancang perjanjian global untuk mengatasi polusi plastik. Namun, hingga kini negosiasi masih berjalan alot. Putaran terakhir perundingan, INC-5.2, diharapkan mampu menyelesaikan perdebatan kunci, seperti pembatasan produksi plastik, larangan bahan kimia berbahaya, serta skema pendanaan bagi negara berkembang.
Proses menuju perjanjian ini dimulai pada Maret 2022, ketika perwakilan negara-negara anggota PBB menyepakati resolusi untuk menyusun perjanjian mengikat guna mengatasi polusi plastik sepanjang siklus hidupnya, dari produksi hingga pembuangan.
Namun, jalan menuju kesepakatan tidaklah mulus. Setelah lima putaran negosiasi di berbagai negara, termasuk Paris dan Nairobi, upaya finalisasi perjanjian gagal tercapai pada Desember 2024. Draft terbaru yang menjadi dasar negosiasi, dikenal sebagai Chair's Text, disusun oleh Ketua INC Luis Vayas Valdivieso. Namun, dokumen ini menuai kritik karena dinilai terlalu ambigu.
Dikutip dari Packaging Europe, Kamis (7/8/2024), beberapa poin yang dinilai belum jelas mencakup aturan pembatasan produksi plastik mentah berbasis minyak, batu bara, dan gas. Masalah pendanaan juga masih menjadi perdebatan, terutama terkait besaran kontribusi negara maju dan alokasinya untuk mendukung transisi negara berkembang dari ketergantungan pada plastik.
Salah satu kekhawatiran atas draft tersebut adalah peluang bagi satu negara untuk memveto keputusan bersama. Dukungan terhadap perjanjian yang kuat sebenarnya cukup besar. Dalam pertemuan INC-5, hampir 100 negara menyatakan dukungan terhadap berbagai langkah progresif, seperti pelarangan plastik sekali pakai dan bahan kimia beracun, penetapan target global pengurangan produksi plastik, serta mekanisme pendanaan khusus bagi negara berkembang.
Namun sejumlah negara, terutama produsen minyak dan plastik utama, dituding sengaja memperlambat proses negosiasi dengan berbagai taktik. Menurut laporan WWF, intervensi “ambisi rendah” dari negara-negara tersebut berpotensi mengancam efektivitas perjanjian yang diharapkan.
Sebelum pertemuan penting di Jenewa, para kepala delegasi telah lebih dahulu bertemu di Nairobi pada Juli 2025, dengan tujuan mencari titik temu di antara berbagai pandangan yang berbeda. Meski ada upaya kompromi, WWF memperingatkan bahwa konsensus “dengan harga berapa pun” justru berisiko melemahkan ambisi dan efektivitas perjanjian.
Beberapa isu krusial menjadi fokus utama dalam pertemuan INC-5.2 di Jenewa. Pertama, cakupan perjanjian. Mayoritas negara menginginkan aturan yang mencakup seluruh siklus hidup plastik, termasuk tahap produksi plastik mentah.
Namun, sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan beberapa negara produsen minyak, menolak pembatasan produksi tersebut. Isu krusial kedua adalah usulan dari Panama, yang telah mendapat dukungan lebih dari 100 negara. Usulan itu mencakup penetapan batas maksimal produksi plastik global dan kewajiban pelaporan impor-ekspor plastik.
Ketiga, opsi pemungutan suara jika konsensus tidak tercapai. WWF mendorong agar mayoritas negara dapat melanjutkan proses melalui pemungutan suara, tanpa harus terhambat oleh minoritas.
Sebagai organisasi yang aktif mendorong lahirnya perjanjian ini, WWF memberikan sejumlah rekomendasi penting. Mereka mendesak agar perjanjian mencakup larangan global pada 2030 terhadap berbagai produk plastik sekali pakai, seperti styrofoam, kantong plastik, sedotan, dan peralatan makan plastik. Selain itu, WWF juga menekankan pentingnya menetapkan kriteria desain produk yang ketat, terutama untuk kemasan plastik.
Tantangan ke depan tidaklah ringan. WWF menegaskan bahwa negosiasi ini bukan sekadar perdebatan teknis, melainkan ujian kepemimpinan dan multilateralisme. Tanpa kesepakatan ambisius, krisis polusi plastik yang kini telah mencapai 400 juta ton per tahun, akan terus mengancam ekosistem dan kesehatan global.
Pertemuan INC-5.2 di Jenewa akan menjadi penentu apakah dunia mampu bersatu melawan polusi plastik atau justru terpecah oleh kepentingan nasional yang sempit.