REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyepakati perjanjian perdagangan bilateral dengan Vietnam, yang menetapkan tarif tetap sebesar 20 persen atas seluruh barang ekspor Vietnam ke AS, serta membuka pasar Vietnam sepenuhnya bagi produk-produk asal AS. Kesepakatan ini dinilai mengubah peta perdagangan global secara signifikan.
“Kesepakatan ini merupakan hasil negosiasi cepat dan kalkulatif dari Hanoi setelah menghadapi ancaman tarif 46 persen. Vietnam memilih menyerahkan sebagian kendali pasarnya demi menjamin kepastian ekspor. Hasilnya, Trump memuji kesepakatan itu sebagai ‘luar biasa’,” kata Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, Kamis (3/7/2025).
Merespons hal itu, Syafruddin mempertanyakan posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika serupa. Menurutnya, Indonesia hingga kini masih terguncang oleh pemberlakuan tarif 32 persen dari AS sejak April 2025. AS menuding Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan impor yang menghambat akses pasar, serta mempertanyakan surplus neraca dagang Indonesia.
Sebagai respons awal, pemerintah Indonesia melonggarkan ketentuan impor atas 10 kelompok komoditas strategis, termasuk bahan baku industri, pupuk, dan sepeda. Namun, kebijakan ini masih bersifat sepihak dan belum dibarengi dengan langkah negosiasi dua arah secara diplomatik.
“Perbandingan ini sering kali memunculkan usulan, ‘Mengapa Indonesia tidak meniru Vietnam?’ Namun realitasnya, Indonesia tidak bisa begitu saja meniru Vietnam, dan juga tidak bisa bersikap keras seperti China,” ujar Syafruddin.
Ia menegaskan bahwa posisi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi menengah membuatnya tidak bisa menyerahkan akses pasar tanpa risiko politik domestik, sekaligus belum cukup kuat untuk mengajukan tantangan seperti yang dilakukan China. Karena itu, Indonesia perlu merumuskan strategi dagang nasional yang adaptif, selektif, dan tetap berdaulat.
Strategi yang direkomendasikan adalah pendekatan konsesi selektif (selective concession strategy), yakni membuka ruang negosiasi untuk sektor-sektor non-sensitif seperti logistik, jasa digital, atau produk keuangan, sembari tetap melindungi sektor strategis seperti pangan, pertanian, dan industri kecil-menengah.
“Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia bersedia menjadi mitra dagang yang terbuka dan konstruktif tanpa mengorbankan fondasi ketahanan ekonominya,” tutur Syafruddin.
Ia menambahkan, strategi ini membutuhkan tim negosiator profesional lintas kementerian yang tidak hanya memahami teknis perdagangan, tetapi juga lanskap politik global. Indonesia, menurutnya, perlu menyampaikan pesan bahwa siap berdialog secara sejajar, bukan hanya menunggu tekanan.
“Tarif 32 persen dari AS adalah sinyal bahwa pendekatan normatif dan reaktif tidak lagi cukup. Dunia perdagangan kini telah bergeser dari sistem multilateral berbasis norma menuju negosiasi bilateral berbasis kekuatan tawar,” katanya.
Syafruddin menutup dengan menekankan pentingnya Indonesia hadir sebagai kekuatan menengah yang rasional dan strategis, yakni dengan melindungi sektor penting, membuka yang siap, dan menegosiasikan semua secara aktif.
“Keberhasilan Vietnam bukanlah peta jalan mutlak, tetapi menjadi alarm keras bahwa ketidakpastian bisa dikendalikan jika dihadapi dengan keberanian, kelincahan, dan strategi,” ucapnya.