loading...
Jauh sebelum berdirinya madrasah megah atau pesantren yang kini tersebar di pelosok Nusantara, ternyata ada sebuah tempat sederhana di pojok Masjid Nabawi. Namanya Al-Suffah. Foto/SINDOnews.
Dosen Universitas Darunnajah (UDN) Jakarta, Muhammad Irfanudin Kurniawan dan Afaf Saifullah Kamalie
Saya sempat membayangkan bagaimana pendidikan Islam pertama kali diorganisir? Jauh sebelum berdirinya madrasah-madrasah megah atau pesantren-pesantren yang kini tersebar di pelosok Nusantara, ternyata ada sebuah tempat sederhana di pojok Masjid Nabawi. Namanya Al-Suffah. Serambi beratap pelepah kurma yang menjadi saksi lahirnya organisasi pendidikan Islam paling awal dalam sejarah.
"Bukankah pesantren juga seharusnya menjadi organisme?"
Pertanyaan ini pernah kami tulisan di SindoNews edisi 1 Desember 2025. Ia menganalogikan pesantren dengan tubuh manusia yang tersusun rapi. Dimulai dari sel, jaringan, hingga organ yang bekerja seirama tanpa perlu diperintah.
Jika kita menarik garis ke masa lalu, analogi organisme ini sesungguhnya telah dipraktikkan Rasulullah sejak 14 abad silam. Tepatnya di Al-Suffah.
Ketika Nabi Muhammad tiba di Madinah, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari selama tujuh bulan. Yakni sampai selesainya pembangunan masjid dan rumah beliau. Para sahabat Muhajirin berbondong-bondong meninggalkan Mekah demi mempertahankan keimanan mereka. Namun satu masalah besar menghadang: ke mana mereka akan tinggal?
Rasulullah menerapkan sistem al-mu'akhah atau persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Satu per satu sahabat dari Mekah dipersaudarakan dengan penduduk Madinah. Tujuan utamanya adalah membangun sistem kemasyarakatan yang mengatasi sistem kabilah. Bahwa ikatan Islam harus lebih kuat dari ikatan-ikatan lainnya.
Namun jumlah pendatang terus bertambah. Rumah-rumah di Madinah tidak lagi mampu menampung semuanya. Di sinilah Al-Suffah lahir sebagai solusi.
Masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah berukuran 70 x 60 hasta, atau sekitar 31,5 x 27 meter. Semula masjid tidak beratap. Ketika para sahabat mengeluhkan teriknya matahari, dibuatlah naungan dari pelepah kurma di sisi depan arah kiblat. Naungan inilah yang disebut suffah.
Setelah kiblat dipindahkan dari Baitul Maqdis ke Ka'bah pada Rajab atau Sya'ban tahun kedua Hijriah, naungan yang semula di depan kini berada di belakang masjid, tepatnya di sisi utara. Di tempat inilah para sahabat fakir yang belum memiliki tempat tinggal bermukim. Mereka disebut Ahl al-Suffah, para penghuni serambi.
Apa yang membuat Al-Suffah istimewa bukan sekadar atapnya yang terbuat dari pelepah kurma. Yang membuatnya legendaris adalah sistem yang terbentuk secara natural di dalamnya.














































