Oleh: Yoki Firmansyah, Dosen UBSI dan Fasilitator Sekolah Penggerak
REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Fenomena brainrot menjadi isu yang semakin meresahkan di kalangan orang tua, pendidik, dan pemerhati anak. Istilah ini merujuk pada kondisi menurunnya fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital yang berlebihan, dangkal, dan bersifat stimulatif instan—terutama dari video-video pendek seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels.
Anak-anak yang sejak dini terbiasa dengan jenis konten ini mulai menunjukkan gejala seperti kesulitan fokus, ketergantungan digital, menurunnya minat membaca, serta gangguan emosional.
Sejumlah penelitian di Indonesia memperkuat kekhawatiran ini. Studi yang dilakukan Pusat Kajian Literasi Digital pada 2023 menunjukkan anak-anak usia sekolah dasar yang mengonsumsi video pendek lebih dari dua jam per hari memiliki risiko tiga kali lipat mengalami kesulitan konsentrasi di kelas.
Laporan serupa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun yang sama mencatat, lebih dari 60 persen anak-anak Indonesia mengakses media sosial tanpa pendampingan orang tua, sehingga sangat rentan terhadap konten negatif dan overstimulasi.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, menegaskan maraknya video tidak mendidik di internet bisa menjadi “racun digital” jika tidak diawasi dengan baik.
Ia mendorong keterlibatan aktif orang tua dan lembaga pendidikan untuk membimbing anak-anak dalam memilih serta mengonsumsi konten digital yang sehat dan edukatif.
Melihat kondisi ini, Yoki Firmansyah, dosen Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) sekaligus pemerhati literasi digital di Kalimantan Barat, mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena brainrot yang diam-diam menggerogoti kualitas generasi muda.
Brainrot ini ibarat polusi informasi yang tak kasat mata. Anak-anak disuguhi hiburan instan yang menghibur sesaat, tapi merusak kemampuan berpikir jangka panjang. Jika tidak segera ditangani, kita akan kehilangan generasi yang mampu berpikir kritis dan kreatif.
Maka, penting kolaborasi antara keluarga, sekolah, dan perguruan tinggi dalam membentengi anak-anak dari pengaruh buruk konten digital.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah membatasi waktu penggunaan gawai, memilihkan konten edukatif sesuai usia, serta mengajak anak melakukan aktivitas offline yang merangsang kreativitas seperti menggambar, bermain di alam terbuka, atau membaca buku.
Dalam konteks pendidikan tinggi, UBSI yang dikenal sebagai Kampus Digital Kreatif hadir sebagai institusi yang tidak hanya membekali mahasiswanya dengan keterampilan teknologi, tetapi juga membentuk kesadaran akan pentingnya etika dan literasi digital.
Melalui kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan zaman serta berbagai kegiatan pengabdian masyarakat, UBSI mendorong mahasiswanya untuk menjadi agen perubahan dalam menghadapi tantangan era digital.
Mahasiswa UBSI mendapatkan bekal dalam mengenali dampak negatif konten digital dan diajak untuk berperan aktif dalam kampanye literasi digital di lingkungan sekitar.
Mereka didorong untuk menciptakan konten edukatif, membantu masyarakat memahami risiko media digital, dan mengembangkan aplikasi atau platform yang ramah anak.
Dalam berbagai kesempatan, UBSI juga menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dan komunitas untuk menyelenggarakan seminar, pelatihan, dan sosialisasi terkait literasi digital, baik secara daring maupun luring.
Mahasiswa Universitas BSI memiliki potensi besar untuk menjadi agent of change. Mahasiswa kita harus menjadi garda depan dalam membangun peradaban digital yang sehat. Mereka tidak hanya belajar coding dan sistem informasi, tapi juga harus sadar akan tanggung jawab sosial dalam dunia maya.
UBSI sebagai Kampus Unggul percaya, literasi digital harus dimulai sejak dini dan diperkuat melalui pendidikan yang komprehensif.
Ketika generasi muda melek digital dan memiliki kesadaran akan dampak dari apa yang mereka konsumsi, maka mereka akan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam bersikap di dunia maya.