Usmayantika
Politik | 2025-12-03 20:14:08
Image Google
Oleh: Usmayantika
Bencana alam melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan sekitarnya. Curah hujan tinggi, banjir bandang dan longsor. Lebih dari 600 orang kehilangan nyawa, ribuan mengungsi, ratusan hilang, dan harta benda tersapu arus.
Puing-puing yang berserakan, pohon-pohon besar tanpa daun, serta ranting-ranting yang hanyut menunjukkan satu fakta pahit: penggundulan hutan bukan sekadar rumor, tetapi kenyataan yang membuat kita miris.
Menurut data MapBiomas, terjadi perubahan signifikan pada kondisi vegetasi Pulau Sumatra. Hutan alam menyusut drastis dan berganti menjadi perkebunan kelapa sawit. Alih-alih membawa kesejahteraan, perubahan ini justru memicu kerusakan alam. Indonesia bahkan menjadi negara penyumbang kerusakan hutan tropis terbesar akibat pertambangan dan ekspansi lahan sawit, mencapai sekitar 58,2 persen dari 26 negara yang diteliti. Deforestasi ini memuncak pada periode 2010–2014 dan terus berlanjut hingga kini (Tribunnews, 3 Desember 2025).
Semua ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang mengizinkan pembukaan lahan skala besar oleh korporasi, bahkan di wilayah konservasi. Menyerahkan sumber daya alam kepada oligarki sama saja dengan menjual negara ini. Penggundulan hutan secara masif di negeri ini merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang dikuasai segelintir elite.
Dalam banyak kasus, kelompok elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi. Demi meraup laba, mereka mengesampingkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Selama kapitalisme dibiarkan bekerja melalui tangan-tangan oligarki, kerusakan ekologi, kemiskinan, dan bencana akan terus terjadi.
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan larangan untuk membuat kerusakan di bumi:
"Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”(TQS Al-A’raf [7]: 56)
Pembukaan lahan sering dilakukan dengan mengonversi hutan alam. Praktik ini merusak ekosistem, menghilangkan keanekaragaman hayati, dan mengikis kemampuan bumi menyerap karbon. Inilah watak kapitalisme: meraup keuntungan dari eksploitasi, lalu mengemasnya dengan jargon kesejahteraan masyarakat.
Allah telah mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia. (Dengan itu) Allah akan menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(TQS Ar-Rum [30]: 41)
Jelas, berbagai kerusakan di darat dan laut—banjir, longsor, pencemaran—berasal dari ulah manusia. Dalam sistem kapitalisme, oligarki merupakan aktor utama perusakan alam. Bencana ini datang sebagai konsekuensi dari kemaksiatan manusia di dunia.
Islam memandang bahwa sumber daya strategis seperti hutan dan tambang merupakan milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang wajib dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak haram dimiliki swasta, apalagi asing atau diprivatiasi. Rasulullah SAW bersabda:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh sebab itu, tambang nikel dan perkebunan sawit skala besar haram dimiliki swasta maupun asing. Dalam Islam, negara mengelola hutan tanpa merusak ekologi, dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat.
Saatnya negeri ini melepaskan diri dari jeratan sistem kapitalisme yang terbukti merusak. Negara harus menerapkan sistem Islam secara kaffah agar keberkahan turun kepada negeri ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 day ago
10











































