
Oleh : Sabpri Piliang, Pengamat Timur Tengah
REPUBLIKA.CO.ID, "Bad Guy & Good Guy" di mata Israel, julukan itu bisa berubah cepat. Saat Presiden AS Joe Bidden (2024), menahan pembelian bom 2.000 pon (1 ton) untuk Israel, Bidden adalah 'Bad Guy". Menjelang lengser (awal Januari 2025), Bidden menandatangani paket penjualan senjata senilai 8 miliar dolar AS untuk Israel, maka Joe Bidden adalah "Good Guy".
"Bad Guy & Good Guy", dalam politik bisa diperankan satu orang sekaligus, atau dua orang. Bila satu orang, maka peran itu akan dirangkap. Bila dua, maka masing-masing akan berperan sebagai "Bad Guy & Good Guy".
Presiden AS saat ini, Donald Trump bagi Israel tengah memainkan peran "Bad Guy", sekaligus "Good Guy". Pemberian sanksi dua hakim ICC (International Criminal Court): Gocha Lordkipanidze dan Erdenebbalsuren Damdin, oleh AS, merupakan "Good Guy".
Sosok "Good Guy", karena pemerintahan Trump memberi sanksi kepada kedua hakim yang berpusat di Den Haag itu. Berkait dengan banding kejahatan genosida PM Israel (Benyamin Netanyahu) dan Menhan Joavv Galant (mantan) di Gaza.
Tuduhan AS kepada kedua hakim ICC, karena terlibat dalam upaya menyelidiki, menangkap, menahan, atau menuntut warga negara Israel tanpa persetujuan Israel. Menlu AS, Marco Rubio (18 Desember 2025) menyatakan, keduanya telah menolak upaya banding Israel.
Israel memiliki bobot kalkulasi dalam menilai "Bad Guy & Good Guy", secara unik. Isu Palestina sangat mendominasi julukan itu, juga isu negara-negara perbatasan Israel lainnya, seperti Suriah, Lebanon, dan Yordania.
Siapa saja yang mengecam Israel, akan dianggap sebagai musuh. Termasuk "kawannya" sendiri (Eropa, Inggris, Perancis), yang mengakui negara Palestina. Tuduhannya klasik, sebagai anti-semitisme, atau berada dalam pengaruh Islam.
Ketika PM Inggris Keirr Starmer, dan Presiden Perancis Emanuel Macron, atau PM Australia Anthony Albanese mengakui negara Palestina (September lalu), mereka akan mendapat julukan itu, sebagai "Bad Guy". Sementara Presiden Argentina Javier Milei, dan Hongaria Tamas Sulyok yang selama ini membela kepentingan Israel, terkait isu Palestina (Gaza), dianggap sebagai sekutunya. Statusnya, "Good Guy".
Kesewenangan Israel ini menandai, Israel tidak memiliki arah politik yang jelas. Kebijakan tidak konsisten yang bergantung pada kebutuhan, membuat para sekutunya (termasuk: AS, Inggris, Prancis), sering berada di persimpangan jalan.
Israel, sekalipun mendapat perlindungan dari AS, dalam pola "patron-client", negeri Zionis ini sering melanggar "garis merah" yang ditetapkan oleh AS. Menyerang pimpinan Hamas di Qatar, itu "garis merah".
AS memahami, Pemerintahan Israel dari masa ke masa banyak dipengaruhi, kelompok mana yang berkuasa. Karena itu, pemerintah Israel sering beroperasi dalam ruang manuver yang sempit.
Genosida Gaza saat ini, tak luput dari keberadaan kelompok Zionisme Religius dan Otzma Yehudit (garis keras Yahudi) yang diwakili oleh Bezalel Smotrich dan Ittamar Ben-Gvir dalam pemerintahan.
Perang multi-front yang dilakukan Israel (Suriah-Lebanon-Yaman-Gaza), tak luput dari kekerasan hati Menkeu Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Ittamar Ben-Gvir yang 'utopis'. Konsep Israel Raya, dengan mempertahankan aneksasi Tepi Barat (West Bank) milik Palestina, dan Dataran Tinggi Golan, milik Suriah. Memperlihatkan, Israel sebagai 'aktor' keras kepala yang terperangkap dalam fantasi.
Israel (Yedioth Ahronoth, 23 Desember 2025) , telah kehilangan keseimbangan yang merugikan dirinya sendiri. Serangan ke Qatar (alasan apa pun), dan kemudian PM Israel Benyamin Netanyahu dipaksa meminta maaf oleh Trump. Menjadikan Trump sebagai "Bad Guy", oleh Israel.

4 hours ago
2












































