Catatan Cak AT: Korupsi Dibilang Rezeki

5 hours ago 5
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Korupsi Dibilang Rezeki. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Jaksa Azam mengaku uang Rp 8 miliar di rekening istrinya adalah ‘rezeki’. Tak disebut rezeki siapa. Yang jelas, bukan rezeki korban.

Di tengah parade prestasi Kejaksaan Agung yang berhasil membongkar kasus-kasus kakap senilai ratusan triliun rupiah, seorang jaksa dari Jakarta Barat malah memutuskan untuk menjadi bintang sinetron dengan genre korupsi komedi religi.

Namanya Azam Akhmad Akhsya, yang lebih cocok dijuluki “Jaksa Rezeki Nomplok”.

Pasalnya, ia menilap Rp 11,7 miliar, sebagian besar ditransfer ke rekening sang istri, dan dengan jujur (atau naif?) ia menyebutnya sebagai “rezeki”.

Mungkin dia pikir Tuhan sedang memakai jalur bank transfer hasil korupsi sebagai jalan turunnya berkah.

Baca juga: Sekolah Rakyat Resmi Dibuka, Harapan Besar Terbukanya Akses Pendidikan Berkualitas

Ketika Allah Swt berfirman bahwa Dia-lah yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, lantas hasil korupsi masih layakkah disebut rezeki?

Mari kita jujur sejenak, tidak semua orang kuat iman saat melihat miliaran rupiah nampang di depan mata.

Tapi ketika yang tergoda itu justru orang yang disumpah menegakkan hukum dan memberantas korupsi, kita patut bertanya: Apakah jaksa seperti ini hasil rekrutmen atau hasil reinkarnasi dari bandit-bandit pasar gelap?

Jaksa Azam sang koruptor yang baru saja divonis tujuh tahun penjara tampaknya ingin naik level. Bukan lagi sekadar penegak hukum, ia ingin menjadi Robin Hood.

Baca juga: Catatan Cak AT: Noda Sejarah yang Perlu Ditulis Ulang

Tapi alih-alih mencuri dari orang kaya untuk dibagikan ke rakyat miskin, ia memeras korban investasi bodong dan membagikannya ke atasan, kolega, istri, dan dirinya sendiri.

Terungkap di pengadilan: Rp 8 miliar masuk ke rekening istri; Rp 1 miliar untuk umrah, jalan-jalan; untuk CSR gaya baru: sumbangan pesantren, Rp 2 miliar; buat asuransi BUMN; Rp 2 miliar lagi deposito. Dan, tidak lupa, properti senilai Rp 3 miliar untuk masa pensiun yang nyaman.

Kalau ini bukan rancangan keuangan jangka panjang kelas “koruptor visioner”, saya tak tahu apa lagi namanya. Investasi syariah? Boleh jadi. Tapi uangnya dari mana? Dari para korban Fahrenheit yang seharusnya dilindungi hukum, malah dipermainkan jaksa yang seharusnya mengadili.

Kejahatan Azam bukan sekadar mencuri. Ia menyalahgunakan wewenang, menipu sistem, memanfaatkan jabatan, dan memeras korban melalui pengacara palsu dengan bumbu "paguyuban fiktif".

Baca juga: Sudah Terbit Izinnya, Warga Muhammadiyah Diimbau Menabung di Bank Syariah Matahari

Ini bukan korupsi biasa. Ini delusi institusional: menganggap diri di atas hukum, lalu mengajak kolega ikut pesta pora. Bahkan nama-nama atasan disebut menerima bagian, mulai dari Rp 150 juta hingga Rp 500 juta. Semua tentu dengan iringan nada reflek: “Saya tidak tahu menahu.”

Azam juga sempat sesenggukan di pengadilan, minta maaf dengan nada religius. “Saya mohon maaf... ini penebus dosa-dosa saya.” Tapi sebelumnya ia sudah sempat menikmati harta korupsi untuk sumbangan pondok pesantren. Ironi yang begitu indah hingga membuat Nietzsche terjengkang dari kubur.

Hal paling menyedihkan dari semua ini bukan soal jumlah uangnya. Tapi soal normalisasi dosa yang dibungkus narasi keluarga. Uang di rekening istri dianggap rezeki. Uang hasil korupsi dipakai untuk “proteksi finansial keluarga”.

Jaksa macam ini percaya bahwa membobol kepercayaan publik bisa ditebus dengan menangis di pengadilan dan menyumbang sedikit ke pesantren. Ini seperti maling ayam yang melempar Rp 10 ribu ke kotak infak masjid agar amalnya seimbang.

Baca juga: Penguatan Pengendalian Tembakau, Dinkes Depok Tetapkan Sasaran 11 Lokus Kampung KTR

Lebih parah lagi, kejadian ini merusak reputasi Kejaksaan yang selama ini sedang naik daun karena berhasil membongkar mega korupsi. Kasus BTS 4G, timah Bangka, hingga mafia migas berhasil diungkap.

Tapi satu jaksa dari Jakarta Barat bisa membuat semua pencapaian itu terguncang. Satu tikus bisa membuat seluruh dapur dinilai jorok.

Sudah terlalu sering kita dengar kata “pembinaan mental”, “pengawasan internal”, dan “kode etik”. Tapi kasus ini membuktikan bahwa korupsi tak pernah mati gaya. Yang berubah hanyalah narasi pembenaran. Hari ini disebut “rezeki”, besok bisa saja dinamai “hibah sosial”.

Azam hanyalah wajah dari sistem yang belum sepenuhnya sembuh. Sanksi tujuh tahun penjara dan denda Rp 250 juta? Itu hanya seujung kuku dari nilai yang dirusak: kepercayaan publik.

Baca juga: Catatan Cak AT: Sajak Empat Baris dalam Amplop Cokelat

Kalau benar Kejaksaan ingin bersih, bukan cuma Azam yang diadili. Seluruh sistem penegakan etik internal perlu dibongkar ulang. Termasuk yang membiarkan praktik semacam ini terjadi bertahun-tahun tanpa deteksi.

Seharusnya jaksa menegakkan hukum, bukan alibi. Seharusnya uang negara dikembalikan ke rakyat, bukan dialirkan ke deposito. Dan seharusnya keluarga jaksa merasa bangga karena punya orang tua yang jujur, bukan kaya mendadak lalu disebut “dapat rezeki”.

Semoga kejaksaan tidak hanya menang dalam membongkar korupsi di luar, tapi juga berani mengusut tuntas kebusukan dari dalam. Karena hukum bukan panggung sandiwara. Dan jaksa bukan aktor air mata. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 15/7/2025

Read Entire Article
Politics | | | |