Deepfake, Penipuan, dan Regulasi: Mengapa Kita Harus Waspada?

1 day ago 8

Image carolina levrinsa

Hukum | 2025-12-03 20:53:37

Sumber ilustrasi: Freepik


Deepfake semakin sering muncul di media sosial, dari meme lucu hingga video yang tampak meyakinkan. Teknologi berbasis kecerdasan buatan ini mampu memalsukan wajah dan suara seseorang secara realistis, sehingga sulit dibedakan dari konten asli. Awalnya dianggap hiburan, deepfake kini berubah menjadi ancaman serius karena dapat digunakan untuk menipu, memfitnah, atau memanipulasi masyarakat.

Dari Lelucon ke Manipulasi

Meme deepfake terlihat tidak berbahaya, tetapi tetap berisiko. Wajah seseorang adalah data biometrik yang dilindungi UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Penggunaan tanpa izin, apalagi jika merendahkan martabat atau memberi kesan negatif, dapat dianggap pelanggaran privasi atau pencemaran nama baik. Deepfake yang memuat identitas seseorang tanpa persetujuan juga dapat dikategorikan sebagai manipulasi data pribadi.

Pada April 2025, Direktorat Siber Polda Jawa Timur mengungkap kasus penipuan menggunakan video deepfake Gubernur Jawa Timur. Pelaku memanipulasi wajah dan suara gubernur untuk menawarkan motor murah seolah program resmi pemerintah, lalu menyebarkannya melalui akun palsu. Modus ini juga digunakan dengan mencatut nama Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kasus ini memperlihatkan bagaimana deepfake memoles kebohongan menjadi seolah-olah kebenaran.

Kerangka Hukum Indonesia

Meski Indonesia belum memiliki undang-undang khusus AI, penyalahgunaan deepfake dapat dijerat dengan sejumlah peraturan berikut:

1. UU ITE (UU No. 1 Tahun 2024)

• Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1): Mengatur distribusi atau transmisi konten elektronik yang melanggar kesusilaan.

• Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3): Mengatur konten elektronik yang mencemarkan nama baik atau merusak reputasi.

• Pasal 28 ayat (1): Mengatur informasi elektronik yang berisi kebohongan dan menyesatkan masyarakat.

• Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1): Mengatur manipulasi atau penciptaan informasi elektronik agar tampak otentik.

2. UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022)

• Wajah dan suara merupakan data biometrik. Rekayasa visual atau audio tanpa persetujuan dapat dikategorikan sebagai pembuatan data pribadi palsu atau pemrosesan data pribadi tanpa izin.

Meskipun demikian, ketiadaan regulasi khusus membuat penegakan hukum menghadapi tantangan tersendiri. Tanpa definisi dan aturan yang secara jelas mengatur deepfake, proses pembuktian menjadi lebih sulit dan sering terbentur ambiguitas norma, terutama ketika kasus melibatkan teknologi kecerdasan buatan. Sejumlah kajian hukum pun menekankan pentingnya pembaruan regulasi atau lahirnya undang-undang baru yang secara tegas mendefinisikan dan mengatur praktik rekayasa digital ini, agar perlindungan bagi korban lebih kuat dan proses hukumnya lebih pasti. Untuk saat ini, penyelesaian kasus terkait penggunaan konten rekayasa digital masih bergantung pada ketentuan umum dalam UU ITE.

Saatnya Melek Deepfake

Deepfake mengikis kepercayaan publik terhadap foto dan video yang selama ini dianggap sebagai bukti paling kuat. Penelitian menunjukkan bahwa deepfake mempercepat penyebaran disinformasi dan membuat masyarakat mudah terkecoh oleh konten manipulatif (Empowering Youth to Combat Malicious Deepfakes and Disinformation, 2023). Korban dapat mengalami kerugian reputasional, psikologis, hingga finansial, sementara proses penegakan hukum menjadi lebih menantang.

Hingga kini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang mengatur deepfake secara komprehensif. Karena itu, meningkatkan literasi digital, memperkuat kapasitas penegakan hukum, dan mendorong lahirnya regulasi yang lebih spesifik menjadi langkah penting agar ruang digital tetap aman. Masyarakat juga perlu meningkatkan kewaspadaan digital dengan tidak mudah mempercayai konten visual maupun audio yang beredar, serta memeriksa kembali kebenaran informasi sebelum membagikannya. Deepfake bukan lagi sekadar hiburan; ia telah menjadi isu hukum dan sosial yang perlu direspons bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |