Demokrasi Bermusyawarah di Era Digital

4 hours ago 3

Oleh: Aidul Fitriciada Azhari, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Surakarta

REPUBLIKA.CO.ID, SURAKARTA -- Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah demokrasi secara mendasar. Ruang publik yang dahulu berbentuk forum fisik kini bergeser menjadi forum digital—media sosial, platform daring, dan kanal opini publik global.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Transformasi ini membuka peluang partisipasi yang luas, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi praktik demokrasi, terutama bagi nilai luhur musyawarah yang menjadi inti Pancasila.

Pergeseran Ruang Musyawarah

Dalam kehidupan sosial-politik tradisional Indonesia, musyawarah bukan hanya mekanisme pengambilan keputusan, melainkan juga sarana membangun saling pengertian.

Ia menuntut kesabaran untuk mendengar, keikhlasan untuk menimbang, dan kebijaksanaan untuk mencari mufakat. Musyawarah adalah proses yang beradab—ruang di mana akal budi dan empati bekerja bersama.

Namun, ketika interaksi publik berpindah ke dunia digital, watak deliberatif itu mengalami tekanan. Percakapan publik kini cenderung singkat, reaktif, dan emosional. Algoritma media sosial lebih mendorong keterlibatan berdasarkan emosi daripada rasionalitas.

Akibatnya, perdebatan publik kerap terjebak dalam polarisasi, misinformasi, dan reduksi makna. Forum digital sering menjadi arena adu opini tanpa orientasi pada kebenaran dan kebijaksanaan bersama.

Dalam kondisi demikian, nilai “musyawarah untuk mufakat” menghadapi ujian. Demokrasi digital berisiko kehilangan substansi deliberatifnya jika kebebasan berpendapat tidak diimbangi dengan tanggung jawab etis dan moral publik.

Etika Digital dan Keadaban Publik

Tantangan utama demokrasi digital bukan pada teknologi, melainkan pada etika.

Kebebasan berekspresi yang meluas di ruang digital harus diiringi kesadaran menjaga keadaban publik. Demokrasi bukan hanya soal siapa yang boleh bicara, tetapi bagaimana cara berbicara yang menjunjung martabat manusia.

Etika digital yang berlandaskan nilai kesantunan dan kebijaksanaan menjadi kebutuhan mendesak. Kesantunan tidak berarti membatasi kritik, tetapi mengembalikan percakapan publik pada tujuan mulianya: mencari kebenaran dan kemaslahatan bersama.

Kebijaksanaan diperlukan agar warga digital mampu menimbang dampak sosial dari setiap kata, gambar, atau informasi yang disebarkan.

Dalam konteks ini, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi dasar etik demokrasi digital Indonesia. Sila keempat menegaskan pentingnya “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan”, yang berarti bahwa kebebasan harus diarahkan oleh akal sehat dan pertimbangan moral.

Dengan demikian, demokrasi digital dapat tetap berpijak pada karakter keindonesiaan yang menghargai musyawarah dan keadaban.

Rekonstruksi Demokrasi Bermusyawarah

Agar demokrasi bermusyawarah tetap hidup di era digital, perlu dilakukan rekonstruksi melalui tiga agenda utama.

Pertama, membangun etika digital berbasis nilai kesantunan dan kebijaksanaan.

Setiap warga digital perlu menyadari bahwa interaksi di dunia maya memiliki konsekuensi sosial dan moral yang nyata. Pendidikan etika digital harus menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan kemampuan berpikir kritis dalam menyikapi informasi.

Kedua, menyusun regulasi partisipatif yang menjaga kebebasan sekaligus keadaban. Negara perlu hadir untuk menciptakan ruang digital yang aman dan beradab, tanpa mengekang kebebasan berekspresi.

Regulasi yang baik harus dibangun melalui partisipasi masyarakat sipil, akademisi, dan pelaku industri digital, agar kebijakan yang dihasilkan proporsional antara hak berekspresi dan perlindungan terhadap martabat publik.

Ketiga, mengembangkan pendidikan kewargaan digital berbasis Pancasila.

Literasi digital perlu diperluas menjadi pendidikan kewargaan digital—yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknologis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan tanggung jawab sosial. Kewargaan digital yang berakar pada Pancasila akan membentuk masyarakat maya yang bebas sekaligus berkeadaban.

Menata Ulang Ruang Publik Digital

Teknologi digital membawa potensi besar untuk memperluas partisipasi politik dan memperkuat demokrasi. Namun, tanpa etika dan kebijaksanaan, ruang digital justru dapat menjadi sumber perpecahan. Karena itu, tugas kita bukan menolak kemajuan teknologi, tetapi menata ulang cara kita hidup di dalamnya.

Musyawarah di ruang digital menuntut kemampuan baru untuk berdialog lintas pandangan, menghargai perbedaan, dan mencari titik temu.

Ruang digital seharusnya menjadi tempat bertemunya gagasan, bukan pertempuran opini. Dengan nilai-nilai musyawarah, demokrasi digital Indonesia dapat menjadi model yang beradab dan inklusif.

Pancasila memberi arah moral bagi perjalanan demokrasi di era digital: kebebasan dijalankan dengan tanggung jawab, perbedaan dihadapi dengan kebijaksanaan, dan keputusan diambil melalui akal budi bersama.

Dalam kerangka itu, demokrasi bermusyawarah bukanlah konsep yang usang, melainkan panduan bagi masa depan peradaban digital kita.

Tantangan abad ke-21 bukan sekadar menjaga demokrasi dari disinformasi, tetapi menghidupkan kembali jiwanya—yakni semangat bermusyawarah yang berkeadaban.

Jika nilai itu dapat dihidupkan di ruang digital, maka Indonesia tidak hanya akan bertahan di tengah disrupsi teknologi, tetapi juga memberi teladan tentang bagaimana membangun demokrasi yang cerdas sekaligus bermoral.

Read Entire Article
Politics | | | |