REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transisi energi menjadi salah satu kunci mengatasi krisis iklim. Energi yang digunakan selama ini, seperti batubara, minyak, dan gas menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang mendorong terjadinya perubahan iklim.
Salah satu kontributor peningkatan emisi yang signifikan berasal dari limbah peternakan dan rumah tangga yang tidak terolah. Limbah kemudian memberi andil dalam krisis iklim di planet bumi.
Saat ini dunia internasional melakukan berbagai upaya untuk menurunkan pemanasan global. Salah satu di antaranya melalui Perjanjian Paris pada tahun 2015. Perjanjian itu didasari oleh bukti-bukti ilmiah tentang laju dan dampak pemanasan global semakin kuat dan tidak terbantahkan. Hal tersebut ditandai dengan peningkatan suhu global, kenaikan permukaan laut, dan frekuensi terjadinya cuaca ekstrem.
Di Indonesia, upaya untuk mengatasi perubahan iklim tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC). Dokumen ini berisi komitmen pengurangan emisi GRK sebesar 31,89 persen pada 2030 dengan upaya dalam negeri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional (pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas).
Besaran target meningkat dari updated NDC yang sebelumnya ditetapkan sebesar 29 persen dengan upaya dalam negeri. Ada pun sektor yang menjadi strategi dalam pencapaian target tersebut adalah sektor energi, pertanian, industri, limbah dan kehutanan.
Salah satu upaya penurunan emisi GRK di dalam negeri membutuhkan peran dari sektor bisnis atau perusahaan. Perusahaan memiliki andil yang cukup besar terhadap dampak pemanasan global melalui aktivitas bisnis yang dilakukan. Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) setiap perusahaan memegang peranan penting dalam mengatasi perubahan iklim, tidak hanya dituntut untuk meminimalkan dampak negatif operasionalnya terhadap lingkungan, tetapi sektor bisnis juga diharapkan berkontribusi aktif dalam menciptakan solusi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) melalui program TJSL sejak tahun 2022 bekerja sama dengan Yayasan Rumah Energi (Rumah Energi) di Zona Rokan. PHR menginisiasi Program Desa Energi Berdikari (DEB) di Desa Mukti Sari Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, dengan membangun 20 unit biogas. Program ini bertujuan membantu masyarakat mengatasi persoalan limbah peternakan dan sampah organik serta menghasilkan energi biogas yang digunakan sebagai alternatif pengganti gas untuk memasak, sehingga tidak tergantung pada LPG.
Tujuan lain adalah pemanfaatan ampas biogas (bio-slurry) sebagai pupuk organik untuk pertanian, sehingga menciptakan ekonomi sirkular di tingkat kelompok masyarakat dan desa.
"Hari Bumi adalah momentum yang tepat untuk meneguhkan komitmen Desa Mukti Sari dalam mewujudkan kemandirian energi," ujar Project Manager Biogas Rumah (BIRU) Rumah Energi, Krisna Wijaya, dikutip dari siaran pers, Rabu (23/4/2025).
Ketua Ternak kelompok Bhina Mukti Sari, Sudarman, menambahkan cerita kontribusi biogas dalam menjaga kebersihan lingkungan, "Kami membuktikan bahwa dengan biogas kami dapat berkontribusi dalam menjaga lingkungan. Sejak ada biogas, limbah organik bisa termanfaatkan sebagai bahan baku," katanya.
Desa Mukti Sari telah bertransformasi menjadi percontohan Desa Energi Berdikari berbasis biogas berkat inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat dalam memanfaatkan potensi sumber daya lokal. Masyarakat Mukti Sari memanfaatkan limbah ternak untuk menghasilkan biogas serta mengembangkan rantai nilai ekonomi yang muncul dari usaha pupuk organik oleh kelompok Biotama Agung Lestari.
Kelompok ini memproduksi pupuk organik berbahan baku ampas biogas yang ramah lingkungan untuk dipasarkan secara masif dan mandiri. Sehingga tumbuh ekonomi baru di desa yang dapat meningkatkan pendapatan para penerima manfaat kelompok biogas yang ada.
Desa Mukti Sari telah membuktikan energi bersih dapat menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui Program DEB berbasis biogas, masyarakat Mukti Sari tidak hanya mendapatkan akses energi yang terjangkau. Tetapi juga pengetahuan dan keterampilan baru dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, berbagai dampak berkelanjutan yang dirasakan melalui program ini melampaui dampak lingkungan dan menjangkau hingga ke dimensi sosial, ekonomi, bahkan kelembagaan masyarakat.
Memperingati Hari Bumi 22 April 2025, Desa Mukti Sari ingin berbagi kisah suksesnya sebagai inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia. Desa Mukti Sari telah memberi contoh praktis pemanfaatan sumber daya yang bijak, melalui pendekatan eco-localism. Atau pengelolaan potensi sumber daya di lingkungan lokal menjadi sumber energi terbarukan.
Mereka membuktikan bahwa dengan adanya kemauan, inovasi, dan kolaborasi, kemandirian energi berbasis sumber daya lokal adalah hal yang mungkin dicapai. Kepala Desa Mukti Sari,
Waryono, menyampaikan rasa bangganya dalam kegiatan Aktivasi Desa Energi Berdikari. “Kami sangat bangga dengan pencapaian desa kami. Ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat desa kami dapat mewujudkan kemandirian energi tentu kami berharap pengalaman Mukti Sari dapat menjadi contoh dan menginspirasi desa-desa lain untuk memanfaatkan potensi lokal mereka,” ujarnya.
Dalam semangat Hari Bumi, Manager CID PHR Iwan Ridwan Faizal mengatakan, Desa Energi Berdikari merupakan program CID unggulan Pertamina yang mendukung implementasi ESG (Enviromental, Social and Governance). PHR sebagai koordinator Regional 1 Sumatra telah mengembangkan 11 lokasi DEB berbasis energi surya dengan kapasitas 41,13 kWp dan biogas dengan kapasitas 205m3 di berbagai wilayah kerjanya.
“Pengembangan DEB Muktisari Community merupakan salah satu program DEB di Zona Rokan yang telah berhasil mengembangkan biogas dari kotoran hewan sebagai sumber energi alternatif dan meningkatkan nilai ekonomi masyarakat baik dari biogas maupun bio-slurry yang dihasilkan,” ucapnya.