REPUBLIKA.CO.ID, TAPANULI TENGAH -- “Sudah satu minggu tidak masuk air,” ujar penerima manfaat Distribusi Air Bersih Sahdiamin. Saat ditemui pada Sabtu, (13/12) di Kelurahan Aek Tolang Induk, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, hidup Sahdiamin Tambunan—seorang ibu tua yang sedang berhadapan dengan kenyataan pahit, menjadi penyintas bencana.
Ketika banjir bandang menghantam wilayah mereka, bukan hanya rumah dan ladang padi yang terendam lumpur; hidup mereka pun seakan berhenti.
“Kondisi air itu seperti lumpur, kotor. Mandi pakai air hujan kalau datang hujan. Kalau nggak datang hujan, ya tidak mandi,” ucap Sahdiamin.
Menurutnya ada mata air terdekat yang biasa digunakan orang sekitar. Namun air itu keruh, tidak layak digunakan walaupun banyak orang terpaksa mengantri menggunakan air tersebut. Di satu sisi, rasa takut, trauma dan kecemasan masih menghantui benak dan kaki Sahdiamin.
“Airnya dekat gunung itu. Tapi padat orang. Siang malam jam satu masih di situ orang mencuci. Seperti awak ini sudah tidak bisa, aku sudah tua. Kutahan lah (pergi ke sungai terdekat). Sampai sekarang air itu sungai keruh kali,”lanjutnya.
Selama hampir satu minggu, warga hanya bisa berharap pada hujan. Ketika hujan turun, mereka menampung air seadanya untuk sekadar mandi dan memasak.
Air pipa dari gunung yang selama ini menjadi nadi kehidupan mendadak berhenti total. Longsor memutus aliran. Lumpur tebal membuat akses jalan terbenam.
“Jalan pun tak bisa kita. Lumpur besar kali, lewat (setinggi) lutut. Mengangkat kaki pun tak bisa.”
Padi Sahdiamin yang hampir panen ikut rusak, hancur diterjang lumpur. Yang tersisa hanya beberapa batang yang masih berdiri, tak sebanding dengan usaha bertahun-tahun. “Sayang sekali, nak. Tapi mau bagaimana lagi…”
Malam hari, ketika suara hujan menemani sunyi malam, terdengar suara ketukan, datanglah rombongan kecil relawan membawa makanan. Sebuah mangkuk bubur kacang hijau menjadi tanda bahwa mereka belum benar-benar sendirian.
“Memang aku menerima itu. Kubilang terima kasih… tapi menangis aku menerimanya, nak. Sedih perasaan aku.”
Di malam lain, hampir pukul setengah 10, pintu rumahnya kembali diketuk. “Assalamualaikum, Bu… ada makanan.” Suara itu sederhana, namun bagi Sahdiamin, itu seperti Tuhan mengirimkan pengingat bahwa hidup masih layak dipertahankan.
Ketika mobil tangki air bersih 6.000 liter akhirnya tiba di daerah mereka, wajah Sahdiamin tampak sedikit lega. Ia tak lagi harus menunggu hujan untuk mandi. Tidak lagi menadah air keruh yang seperti lumpur. Tidak lagi mengantre berjam-jam di mata air gunung yang juga terancam longsor.
“Bersyukur sebanyak-banyak sama Tuhan, tenaga anak-anak mengasihkan (membawa) air itu ke sini. Aku sudah tidak bisa mengangkat air dari sana, walaupun ada, tidak bisa menjunjung (mengangkat) kita,”
Air itu kembali membawa hidup: untuk memasak, mencuci, mandi, dan sekadar meredakan rasa takut yang selama ini tak terlihat.Namun di balik syukurnya, ada doa yang berulang ia bisikkan pelan, namun penuh harap.
“Manalah yang terbaik, itulah yang kita minta sama Tuhan. Yang terbaiklah yang dikasih. Jangan lagi kalau boleh permintaan kami sama Tuhan, jangan lagi (bencana), cukuplah penderitaan ini,” tutup Sahdiamin sambil berdoa.

4 hours ago
6













































