Ekonom Soroti Tingkat Pengangguran Terbuka Turun, tapi Kondisi Kerja Buruk

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengkritisi tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang mengalami penurunan pada Februari 2025. Penurunan angka TPT tersebut dinilai tak sejalan dengan perbaikan kondisi pekerja. 

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan angka TPT yang mengalami penurunan dibandingkan setahun yang lalu sebanyak 4,91 juta menjadi 4,76 juta orang pada Februari 2025. Namun, jumlah pengangguran justru bertambah sebanyak 83.450 ribu orang dibandingkan periode yang sama pada 2024. 

“Penurunan TPT lebih disebabkan karena jumlah angkatan kerja yang meningkat,” ujar Awalil dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025). Jumlah angkatan kerja (AK) pada Februari 2025 diketahui mencapai 153,05 juta orang, naik sebanyak 3,67 juta orang dibandingkan Februari 2024. 

Awalil menjelaskan, informasi mengenai keadaan pekerja pada Februari 2025 mencakup berbagai karakteristik. Diantaranya jam kerja, pendidikan, lapangan usaha atau sektor, dan status pekerjaan. 

“Pencermatan atas hal itu mengindikasikan besarnya masalah ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia. Berbagai kajian internasional menemukan fenomena paradoks tingkat pengangguran yang rendah di banyak negara berkembang dan negara berpendapatan rendah,” ujarnya. 

Di negara industri maju, ia menyebut, tingkat pengangguran yang rendah disertai pula oleh tingkat kemiskinan yang rendah. Sedangkan di negara berkembang, justru sering menyamarkan kondisi kemiskinan yang substansial. 

Di kebanyakan negara berkembang dan berpendapatan rendah, tidak tersedia jaminan perlindungan sosial. Contohnya asuransi pengangguran dan tunjangan kesejahteraan. Akibatnya, hanya orang-orang relatif kaya yang mampu menganggur. 

Bahkan, pengangguran merupakan kondisi mewah, karena hanya orang-orang yang mempunyai tabungan atau pendapatan di luar pekerjaan (non labor income) yang bisa menganggur. Sementara orang-orang yang miskin, tidak bisa menganggur, mereka harus bekerja apa saja untuk dapat hidup (too poor to be unemployed).

“Hipotesa umum di atas tampak terjadi di Indonesia dilihat dari berbagai data yang disajikan oleh BPS. Salah satunya berupa persentase dari angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK bisa dianalisis sebagai salah satu potensi pertumbuhan ekonomi, namun kondisi terkini menggambarkan keterpaksaan ekonomi untuk mencari pekerjaan,” terangnya. 

TPAK pada Februari 2025 tercatat sebesar 70,60 persen, merupakan yang tertinggi selama belasan tahun ini untuk kondisi Februari. Hal itu mengindikasikan keterpaksaan banyak penduduk usia kerja (berusia 15 tahun ke atas) memasuki pasar tenaga kerja atau menjadi angkatan kerja. 

Dilihat secara sektoral, pekerja terbanyak bekerja di sektor pertanian yang mencapai 41,76 juta orang pada Februari 2025. Angka tersebut merupakan jumlah terbanyak selama 13 tahun terakhir. Bisa dikatakan, kata Awalil, sektor tersebut terpaksa menampung banyak tenaga kerja melampaui kapasitasnya untuk memberi imbalan kerja yang wajar. 

Adapun dilihat dari status pekerjaan, pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar masih sangat banyak dan cenderung bertambah. Jumlahnya mencapai 20,16 juta orang pada Februari 2025, merupakan yang terbanyak selama ini. Sempat cenderung menurun selama periode 2013—2019, dan hanya sebanyak 14,76 juta orang pada 2019.

“Kondisi pekerja keluarga dalam kehidupan sehari-hari mereka ini serupa pengangguran. Namun dalam definisi bekerja dari BPS, mereka tercatat sebagai telah bekerja, karena membantu orang lain memperoleh penghasilan atau keuntungan,” tuturnya. 

Sementara itu, persentase setengah pengangguran pada Februari 2025 yang sebesar 8 persen memang menurun dari tahun lalu. Angka setengah pengangguran pada Februari 2025 diketahui sebanyak 11,67 juta, menurun 0,44 juta orang dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Akan tetapi, Awalil menilai, angka tersebut -meskipun menurun- terbilang cukup tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mereka bekerja kurang dari jam normal (35 jam seminggu) dan masih mencari tambahan jam kerja atau pindah pekerjaan.

Awalil melanjutkan, keadaan ketenagakerjaan Indonesia dicirikan pula oleh tingkat pengangguran yang lebih rendah terjadi pada pendidikan SD ke bawah, yaitu sebesar 2,32 persen pada Februari 2025. Disusul pendidikan SMP yang tercatat 4,35 persen. Tingkat pengangguran justru meningkat signifikan pada mereka yang berpendidikan tinggi (Diploma IV, S1, S2, S3). Mencapai 6,23 persen pada Februari 2025 atau bertambah 0,60 persen dari Februari 2024 yang sebesar 5,63 persen. 

Awalil menilai, hal itu dapat diartikan bahwa sebagian pekerjaan yang tersedia kurang layak dan memang lebih untuk yang berpendidikan rendah. Diperburuk fenomena banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Akan tetapi lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun masih belum sesuai dengan harapan. 

“Bisa disimpulkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tidak cukup mencerminkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya memburuk. Banyak dari mereka yang bekerja sebenarnya belum mempunyai pekerjaan yang layak. Sebagian cukup besar dari mereka harus bekerja apa saja untuk dapat bertahan hidup,” ujarnya.

Read Entire Article
Politics | | | |