Muhammad Hikam Badriddujaa
Teknologi | 2025-12-03 20:50:05
Etika AI Generatif: Ancaman Kreativitas dan Krisis Kejujuran Akademik
Oleh: Muhammad Hikam Badriddujaa
Mahasiswa D4 Teknik Informatika, Universitas Airlangga, dan Pemerhati Isu Etika AI
Perkembangan Kecerdasan Buatan (AI) generatif, seperti ChatGPT, DALL-E, atau Sora, telah melesat jauh melampaui prediksi. Teknologi ini tidak lagi hanya menjadi alat bantu komputasi, melainkan telah menjelma menjadi entitas yang mampu menghasilkan teks, gambar, musik, bahkan video yang nyaris tak terbedakan dari karya manusia.
Desember 2025 menjadi momen krusial untuk merefleksikan dua sektor vital yang paling terdampak: dunia kreativitas dan ranah pendidikan. Kehadiran AI generatif telah menghadirkan dilema etika yang mendalam, mengancam definisi orisinalitas dan memicu krisis kejujuran akademik.
Definisi Ulang Kreativitas
Di dunia seni dan literasi, AI generatif menawarkan kecepatan dan efisiensi yang tak tertandingi. Sebuah esai dapat selesai dalam hitungan detik, atau ilustrasi rumit tercipta hanya dari segelintir perintah teks (prompts). Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: di mana letak "kreativitas" manusia?
Isu utama yang belum terselesaikan adalah hak cipta dan kepemilikan data pelatihan. Sebagian besar AI generatif dilatih menggunakan miliaran data yang diambil dari internet, termasuk karya-karya berhak cipta. Ketika AI menciptakan sebuah karya baru yang secara visual mirip dengan gaya seniman tertentu, apakah ini merupakan inspirasi atau plagiasi termodifikasi? Jika suatu karya merupakan hasil akhir dari prompt yang diciptakan manusia, namun eksekusinya dilakukan oleh mesin, siapa sesungguhnya sang kreator?
Bagi sebagian pihak, AI adalah ko-kreator baru, tetapi bagi para seniman, ini adalah ancaman eksistensial. Karya yang dihasilkan AI seringkali hanya merupakan sintesis cerdas dari data masa lalu, bukan lompatan orisinal yang lahir dari pengalaman dan emosi manusia. Kita berhadapan pada risiko di mana pasar akan dibanjiri oleh konten yang kompeten tetapi hampa jiwa, memaksa manusia untuk bersaing dalam hal kecepatan dengan mesin.
Ancaman Kejujuran Akademik
Dampak AI generatif terhadap dunia pendidikan tidak kalah meresahkan. Di perguruan tinggi dan sekolah, alat seperti ChatGPT telah mengubah cara mahasiswa menyelesaikan tugas, dari esai hingga kode program. Beberapa survei menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan AI untuk mengerjakan tugas, memicu kekhawatiran serius tentang integritas akademik.
Jika alat ini dapat menghasilkan jawaban yang sempurna dan terstruktur dalam sekejap, proses pembelajaran yang berharga seperti pemikiran kritis, sintesis argumen, dan pengembangan gaya menulis yang unik menjadi tergerus. Krisis kejujuran akademik bukan lagi hanya soal menyalin pekerjaan teman, melainkan outsourcing proses berpikir itu sendiri kepada mesin.
Sistem pendidikan tidak bisa hanya berfokus pada pelarangan. Pelarangan total AI adalah ilusi di era digital. Pendekatan baru harus diterapkan:
- Redefinisi Asesmen: Pendidik harus beralih dari tugas berbasis fakta atau deskripsi umum yang mudah direplikasi AI, menuju tugas yang memerlukan analisis kontekstual lokal, pengalaman pribadi, atau sintesis multidisiplin yang menuntut kehadiran dan sudut pandang manusia.
- Literasi AI: Kurikulum harus memasukkan literasi AI, mengajarkan siswa bukan hanya cara menggunakan alat tersebut, tetapi juga batasan etika, bias data, dan pentingnya verifikasi informasi yang dihasilkan AI.
- Keterbukaan AI: Mendorong praktik open-AI, di mana siswa secara eksplisit mencantumkan bagian mana dari pekerjaan mereka yang dibantu oleh AI, dan sejauh mana kontribusi pemikirannya.
Melangkah Maju: AI sebagai Katalis, Bukan Pengganti
AI generatif adalah realitas yang tak terhindarkan. Daripada melihatnya sebagai ancaman murni, masyarakat harus didorong untuk menggunakannya sebagai katalisator untuk memicu babak baru dalam kreativitas dan pembelajaran.
Pada akhirnya, nilai manusia terletak pada kemampuan kita untuk bertanya "mengapa" dan bukan hanya "bagaimana." Sementara AI dapat menyusun kalimat yang sempurna, ia belum dapat merasakan kegelisahan eksistensial, empati, atau pengalaman hidup yang mendasari perspektif unik seorang penulis.
Tantangan etika ini menuntut dialog segera antara pengembang teknologi, regulator, kreator, dan akademisi. Kita tidak boleh membiarkan efisiensi mesin mematikan esensi kemanusiaan. Pendidikan etika digital dan regulasi hak cipta yang tegas adalah investasi untuk memastikan bahwa AI generatif memperkaya peradaban, bukan merusaknya. Jika kita gagal, masa depan kreativitas akan didominasi oleh algoritma, dan ruang kelas akan menjadi tempat di mana proses berpikir diserahkan sepenuhnya kepada robot.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 day ago
10











































