Greenpeace: Hujan Deras di Bulan Juli Bukan Anomali, tapi Dampak Krisis Iklim

8 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menegaskan tingginya curah hujan bukan sekadar anomali musiman seperti yang disampaikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), melainkan konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh para pengambil kebijakan.

Greenpeace Indonesia menyebut lonjakan suhu udara yang terjadi di seluruh dunia didorong oleh emisi gas rumah kaca yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif. Pemanasan global, menurut Greenpeace, telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia.

Greenpeace menyampaikan ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas. “Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, dalam pernyataannya, Rabu (10/7/2025).

Bondan menyebut fenomena hujan deras pada periode Juli sebagai peringatan serius bahwa krisis iklim telah mengubah wajah musim di Indonesia. Ia mendesak pemerintah untuk segera bertindak dan dengan tegas mengurangi emisi serta melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang semakin parah.

Greenpeace menyerukan pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk di sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam.

Greenpeace Indonesia menilai pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan. Meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton, melampaui target awal 710 juta ton dan meningkat 7 persen dari tahun sebelumnya (775 juta ton).

Greenpeace menegaskan, tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih. Sementara itu, menurut Greenpeace, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui RUPTL semakin jauh dari komitmen transisi energi, karena masih bergantung pada energi fosil hingga 2060.

Greenpeace mencatat dalam RUPTL yang telah disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU batu bara) sebesar 6,3 gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10,3 gigawatt. Penambahan pembangkit listrik berbahan bakar fosil tersebut akan semakin mengunci Indonesia dalam kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai masa operasi kedua jenis pembangkit tersebut.

Selain itu, dalam draf RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060. Berdasarkan data historis, saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15 persen pada 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya sebesar 3,2 gigawatt dalam kurun 2018 hingga 2023.

“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak," ujar Bondan.

Ia mengatakan Indonesia membutuhkan komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi.

Namun, kata Greenpeace, RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya akan memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati.

Read Entire Article
Politics | | | |