POLITIK - Bayangkan sebuah ruangan gelap yang penuh debu, sarang laba-laba di sudut, dan bau apek yang menyesakkan. Begitulah kira-kira situasi ketika intimidasi merajalela dalam kehidupan kita. Ruangan itu adalah bangsa kita, dan debunya adalah ketidakadilan, korupsi, serta manipulasi yang dipertahankan oleh segelintir pihak yang menikmati kekuasaan. Tapi seperti halnya debu yang menumpuk, rakyat tahu bahwa waktunya akan tiba untuk mengayunkan sapu besar, membersihkan semuanya—tanpa kompromi. Pertanyaannya, apakah mereka yang di atas akan berani membersihkan diri, ataukah rakyat yang akan turun tangan dengan cara mereka sendiri?
Intimidasi: Strategi Usang yang Tak Lagi Ampuh
Sejak zaman dahulu kala, intimidasi selalu menjadi jurus andalan untuk mengendalikan rakyat. Mulai dari ancaman fisik, tipu daya hukum, hingga janji-janji palsu, semuanya dirancang untuk membuat kita diam. Tapi ada satu hal yang sering dilupakan oleh mereka yang suka mengintimidasi: rakyat itu ibarat api kecil di sudut dapur. Awalnya tenang, tidak mengganggu. Tapi beri mereka cukup bahan bakar—ketidakadilan, misalnya—dan lihat bagaimana mereka berubah menjadi kobaran yang tak terhentikan.
Perlawanan Kolektif: Saat Rakyat Bangkit
Ketika intimidasi menjadi terlalu mencekik, rakyat mulai sadar bahwa mereka tidak harus diam. “Kita terlalu lama diinjak-injak, ” pikir mereka, “dan sekarang saatnya membalikkan keadaan.” Perlawanan pun dimulai. Awalnya berupa bisikan kecil di warung kopi, lalu menjadi diskusi serius di media sosial, hingga akhirnya meledak dalam aksi-aksi besar di jalanan.
Lucunya, banyak yang menyebut ini sebagai anarki. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang rakyat, ini bukan kekacauan, melainkan pembersihan besar-besaran. Mereka turun ke jalan bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyapu bersih debu-debu yang selama ini menumpuk. Dan ya, sapu rakyat memang tidak mengenal kompromi. Siapa pun yang menghalangi, bersiaplah untuk tersapu.
"Indonesia Bersih": Bukan Lagi Slogan, tapi Revolusi
Ada satu kata yang terus bergema di antara aksi-aksi perlawanan ini, bersih. Bersih dari korupsi. Bersih dari nepotisme. Bersih dari intimidasi yang membelenggu. Visi ini bukan sekadar angan-angan kosong, tetapi sebuah panggilan yang mendesak. Jika Indonesia ingin mencapai status sebagai Indonesia Emas—adil, makmur, dan berdaulat secara global—bersih-bersih harus dimulai sekarang. Dan inilah yang sering menjadi ironi: mereka yang seharusnya memimpin pembersihan justru menjadi yang paling enggan untuk bersih.
“Kalau tidak berani bersih, ” kata rakyat, “maka bersiaplah untuk dibersihkan.”
Risiko dan Keberanian: Dua Sisi Koin Perjuangan
Tentu saja, perlawanan ini bukan tanpa risiko. Mereka yang berjuang tahu bahwa jalan ini tidak mudah. Ada ancaman kekerasan, perpecahan, bahkan kemungkinan rakyat sendiri kehilangan arah di tengah perjuangan. Namun, seperti pepatah lama, “tidak ada revolusi tanpa pengorbanan.” Yang terpenting adalah menjaga agar semangat rakyat tetap pada jalur yang benar: menghapus yang buruk tanpa merusak apa yang baik.
Di sinilah muncul kebutuhan akan pemimpin yang bisa mengarahkan energi rakyat ini menjadi perubahan nyata. Karena bersih-bersih tidak hanya soal menyapu, tetapi juga soal menata ulang. Setelah semua kotoran dihilangkan, Indonesia harus kembali berdiri dengan pondasi yang kokoh dan bersih.
Waktunya Menyapu Bersama
Kini, pertanyaan besar yang kita hadapi adalah: apakah mereka yang berkuasa akan berani membersihkan diri? Ataukah rakyat yang akan turun tangan dengan sapu besar mereka? Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa ketika intimidasi terus berlanjut tanpa batas, rakyat akan menemukan cara mereka sendiri untuk melawan. Dan ketika itu terjadi, revolusi akan bergulir seperti bola salju—kecil di awal, tetapi menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.
Jadi, bagi mereka yang masih ingin bermain-main dengan intimidasi, ingatlah: rakyat sudah siap. Bersih-bersih bukan lagi sekadar wacana, tetapi misi besar menuju Indonesia Emas. Dan misi ini hanya punya dua pilihan: Anda ikut bersih, atau Anda akan dibersihkan.
Bagaimana, sudah siap mengayunkan sapu? Atau masih ingin sembunyi di balik debu? Waktunya memutuskan—sebelum terlambat.
Jakarta, 16 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi