Ilmuwan Sosial: Suara yang Sering Terlupakan di Tengah Pusaran Krisis

9 hours ago 6

Image Ismail Suardi Wekke

Info Terkini | 2025-07-15 23:39:12

Ilmuwan Muslim (Photo Republika)

Panggung krisis tak pernah sepi. Pandemi, ekonomi terpuruk, polarisasi. Semua mendera. Tapi, siapa yang didengar? Ahli ekonomi, dokter, insinyur. Mereka berderet. Ilmuwan sosial? Kerap terpinggirkan.

Malam itu, meja makan sederhana menjadi saksi bisu. Di hadapan kami terhidang sepiring nasi lemak mengepul dengan sambal pedas menggoda, ditemani segelas teh tarik hangat yang busanya menari-nari. Suasana akrab nan hangat itu digagas seorang guru, sekaligus mentor yang amat saya hormati. Meski badannya kurang fit, beliau tetap berkeras menjemput saya, bahkan menyetir sendiri mobilnya, demi obrolan yang kami rasa penting.

Dalam riuhnya percakapan tentang berbagai fenomena yang menggerus sendi-sendi masyarakat belakangan ini, pertanyaan itu mengemuka: di manakah suara para ilmuwan sosial? Di tengah derasnya informasi dan tuntutan solusi instan, mengapa peran mereka seolah tergerus, padahal merekalah para penjelajah ulung yang mencoba memahami jalinan rumit kehidupan kita?

Mereka adalah Penjelajah Jiwa Zaman

Ilmuwan sosial. Sosiolog, antropolog, psikolog, politolog. Mereka bukan sekadar pengamat. Mereka penyelam. Menyelami kedalaman masyarakat. Mencari tahu mengapa. Mengapa orang panik? Mengapa hoaks merajalela? Mengapa kebencian bersemi?

Bagi mereka, data bukan cuma deretan angka. Data adalah cerita. Kisah hidup manusia. Interaksi. Emosi. Kekuatan tak terlihat yang membentuk realitas. Mereka membaca bahasa tubuh masyarakat. Memahami bisikan-bisikan senyap.

Ingat awal pandemi? Banyak yang bicara virus. Vaksin. Ventilator. Itu penting. Sangat penting. Tapi, siapa yang bicara ketakutan massal? Stigma terhadap pasien? Perubahan perilaku mendasar? Ilmuwan sosial. Mereka sudah bersuara.

Pentingnya Konteks Budaya

Mengapa pesan kesehatan tak sampai? Mengapa ada penolakan? Karena konteks. Budaya. Keyakinan. Kebiasaan. Ilmuwan sosial tahu ini. Mereka bisa menjembatani. Menjelaskan mengapa strategi A berhasil di tempat lain, tapi gagal di sini.

Lihatlah dunia sekarang. Retak. Terpecah. Karena ideologi. Politik. Bahkan sepele. Ilmuwan sosial membedah anatomi konflik. Mencari akar masalah. Bukan cuma gejala. Mereka melihat pola. Siklus. Sejarah yang berulang.

Anggapan usang. Ilmuwan sosial itu sibuk dengan teori. Jauh dari praktik. Keliru. Mereka turun ke lapangan. Observasi partisipatif. Wawancara mendalam. Fokus grup. Metode mereka hidup. Dinamis.

Apa yang Bisa Dilakukan? Lebih dari Sekadar Analisis

1. Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti Sosial

Kebijakan publik. Seringkali top-down. Tanpa memahami betul akar masalah di masyarakat. Ilmuwan sosial bisa mengisi kekosongan. Memberikan masukan berbasis riset mendalam. Mengapa program bantuan sosial mandek? Mengapa edukasi lingkungan tak efektif? Mereka tahu.

2. Prediksi dan Mitigasi Krisis Sosial

Bukan cenayang. Tapi dengan analisis mendalam. Tren. Pola. Ilmuwan sosial bisa melihat tanda-tanda awal. Potensi konflik. Potensi gejolak. Mereka bisa merancang intervensi. Memitigasi sebelum meledak.

3. Jembatan Komunikasi dan Pemahaman

Pemerintah berbicara bahasa birokrasi. Masyarakat berbicara bahasa pengalaman. Sering tak nyambung. Ilmuwan sosial bisa jadi penerjemah. Menjelaskan kebijakan agar mudah dipahami. Menyampaikan aspirasi masyarakat agar didengar pengambil keputusan.

4. Membangun Resiliensi Komunitas

Bencana datang. Tak hanya fisik. Tapi juga mental. Sosial. Komunitas butuh kekuatan. Ketahanan. Ilmuwan sosial membantu. Mereka mendampingi. Merancang program pemulihan sosial. Membangun kembali ikatan.

5. Menggali Potensi dan Kreativitas Sosial

Masyarakat bukan hanya kumpulan masalah. Ada potensi. Kekuatan lokal. Kearifan. Ilmuwan sosial melihat itu. Mereka bisa mengidentifikasi. Mengembangkan. Membantu masyarakat berdaya. Bukan sekadar objek bantuan.

Sudah saatnya. Suara ilmuwan sosial didengar. Lebih serius. Lebih sering. Di meja perundingan. Di ruang kebijakan. Di tengah krisis. Mereka bukan solusi tunggal. Tapi tanpa mereka, solusi bisa jadi buta. Tak menyentuh inti masalah.

Masyarakat Butuh Cermin yang Jernih

Ilmuwan sosial adalah cermin. Mereka memantulkan realitas. Dengan segala kompleksitasnya. Kita butuh cermin itu. Untuk melihat diri. Memahami diri. Agar tak tersesat dalam pusaran yang kian tak menentu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |