Indef: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II tak Sejalan dengan Kondisi Moneter dan Perbankan

4 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai tingginya angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen tidak sejalan dengan kondisi sektor moneter dan perbankan yang sedang tertekan sepanjang periode tersebut.

Manap mengulas kondisi moneter dan perbankan, mulai dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada kuartal II 2025, posisi inflasi yang belum sepenuhnya mencerminkan pulihnya daya beli masyarakat, hingga melambatnya pertumbuhan kredit perbankan.

“Pergerakan nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja industri manufaktur sebagai kontributor utama dari PDB (produk domestik bruto) kita,” kata Manap dalam Diskusi Publik Indef bertajuk Tanggapan atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 2025, Rabu (6/8/2025).

Data BPS menunjukkan kontribusi industri manufaktur pada kuartal II 2025 tercatat sebesar 18,67 persen dengan pertumbuhan 5,68 persen. Manap mengaku terkejut dengan data tersebut karena terbilang cukup tinggi di tengah tekanan nilai tukar rupiah.

“Saat depresiasi rupiah terjadi, bahan baku akan semakin mahal, yang pada akhirnya memengaruhi performa industri. PMI (purchasing manager’s index) kita sejak April hingga Juni justru terkontraksi. Kok bisa pertumbuhan industri manufaktur jadi salah satu yang tertinggi di kuartal II, padahal data historisnya menunjukkan tren perlambatan,” jelasnya.

Diketahui, pada kuartal II 2025, rupiah mengalami depresiasi cukup dalam akibat pengumuman kebijakan tarif AS. Bahkan, mata uang Garuda sempat menyentuh level Rp 17.100 per dolar AS untuk transaksi luar negeri, sebelum membaik pada akhir 2025. “Ini menggambarkan bahwa depresiasi rupiah pada akhirnya akan memengaruhi performa indeks manufaktur,” tegasnya.

Dari sisi inflasi, Manap menuturkan bahwa inflasi, baik tinggi maupun rendah, bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dalam asumsi APBN 2025, pemerintah menargetkan inflasi sekitar 1,5 persen, sementara saat ini berada di level 1,87 persen dengan inflasi inti 2,37 persen.

“Jangan salah, inflasi inti yang tinggi ini belum tentu menunjukkan adanya peningkatan daya beli atau pendapatan masyarakat, karena inflasi inti di sini justru lebih disebabkan oleh kenaikan harga emas,” ungkapnya.

Manap melanjutkan, sepanjang kuartal II 2025, Bank Indonesia (BI) sempat menurunkan suku bunga pada Mei 2025 dari 5,75 persen menjadi 5,5 persen, sebagai respons atas tantangan akibat kebijakan tarif AS. Namun, menurut Manap, kebijakan itu tidak berhasil ditransmisikan ke suku bunga perbankan, antara lain karena kompetisi dengan suku bunga dari SRBI.

Yang membingungkan, kata Manap, adalah pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang naik cukup tinggi, terutama dari tabungan yang meningkat 6,96 persen. Artinya, masyarakat lebih banyak menyimpan uang di bank. Sementara, kredit perbankan hanya tumbuh 7,7 persen, menunjukkan perlambatan.

“Pertanyaannya, DPK naik dan kredit melambat, kok bisa pertumbuhan ekonomi cukup tinggi? Dari mana sumber dorongan pertumbuhan ekonomi ini, sementara dari sisi pemerintah justru terjadi penghematan anggaran. Kalau dari moneter dan fiskal sama-sama menghemat, dari mana dana likuiditas yang muncul dan bisa mendongkrak pertumbuhan 5,12 persen?” ujar Manap.

Ia menambahkan, peningkatan giro menggambarkan bahwa ekspansi bisnis masyarakat atau korporasi tertahan. Jika dana di giro meningkat, berarti pelaku usaha belum menarik likuiditas untuk ekspansi bisnis. “Itu terlihat dari tiga simpanan, yakni giro, tabungan, dan deposito. Justru pertumbuhan giro paling tinggi dibandingkan dua lainnya,” tegasnya.

Sementara itu, kinerja kredit yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan, seperti kredit multiguna dan KPR rumah, justru melambat. Kredit properti pun mengalami pertumbuhan yang rendah. “Kalau kita pahami, di sektor moneter yang sangat tertekan pada kuartal II dan sektor perbankan yang mengalami pertumbuhan kredit rendah serta DPK meningkat, ini tidak sinkron dengan pertumbuhan ekonomi kita yang cukup tinggi,” tegas Manap.

Ia berharap pemerintah memberikan penjelasan mengenai kondisi anomali tersebut agar publik dapat memahami dan menilai keabsahan data. Menurutnya, jika memang benar pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi pada kuartal II 2025, maka target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah bisa tercapai. Namun, hal itu harus didukung dengan data yang kredibel dan mencerminkan kondisi di lapangan.

Read Entire Article
Politics | | | |