REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan sejumlah negara penghasil mineral kritis dihadapkan pada peluang besar untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global energi bersih. Namun, peluang itu hanya bisa diwujudkan jika negara-negara tersebut tidak berhenti pada tahap penambangan, melainkan membangun kapasitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Kepala Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menegaskan, penguasaan terhadap industri pengolahan mineral kritis seperti nikel, kobalt, dan logam tanah jarang akan menjadi kunci dalam kompetisi energi dan teknologi masa depan.
“Beberapa pihak menganggap mineral kritis hanya digunakan untuk teknologi energi, tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Mineral ini juga digunakan dalam industri manufaktur, pembuatan chip, pertahanan, drone, dan berbagai sektor lainnya,” kata Birol dalam Singapore International Energy Week (SIEW).
Menurut Birol, pengolahan dan pemurnian mineral global saat ini masih terkonsentrasi di sejumlah kecil negara, dengan satu negara di Asia memegang peran dominan. Karena itu, negara penghasil seperti Indonesia perlu memperluas kapasitas pemurnian untuk memperkuat posisi di rantai nilai global.
“Negara-negara yang memiliki nikel, logam tanah jarang, atau kobalt sebaiknya tidak hanya menambang, tetapi juga mengolah dan memurnikannya,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Energy Economist di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Han Phoumin, menilai Indonesia berada di posisi strategis untuk memanfaatkan kekayaan mineral kritis sebagai sumber kemakmuran berkelanjutan.
“Mineral kritis kini menjadi minyak baru dalam geopolitik abad ke-21. Indonesia berada tepat di pusat transformasi ini,” ujarnya.
Menurut data U.S. Geological Survey, Indonesia memiliki cadangan nikel sekitar 55 juta ton atau 42 persen dari total global, menjadikannya yang terbesar di dunia. Indonesia juga termasuk dalam 10 besar produsen tembaga dan bauksit.
Untuk keluar dari posisi sebagai pemasok bahan mentah, Indonesia telah menjalankan kebijakan hilirisasi melalui pelarangan ekspor bijih mentah dan pembangunan lebih dari 30 smelter. Sepanjang 2019–2023, investasi asing langsung di sektor ini mencapai lebih dari 30 miliar dolar AS.
Phoumin menilai kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay menjadi simbol ambisi Indonesia membangun ekosistem baterai kendaraan listrik dari hulu ke hilir.
MIND ID jadi penggerak
Holding industri pertambangan MIND ID memegang peran utama dalam mewujudkan strategi hilirisasi nasional. Melalui anak usaha seperti PT Vale Indonesia Tbk (Vale) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), MIND ID mengembangkan rantai nilai nikel secara terintegrasi — mulai dari pengolahan bijih hingga produksi material baterai.
Vale tengah mempercepat tiga proyek strategis Indonesia Growth Project (IGP), sementara ANTAM fokus pada pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik melalui proyek di Halmahera Timur dan fasilitas produksi material katoda di Karawang, Jawa Barat.
Langkah ini dinilai bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok energi bersih global.
Kendati memiliki potensi besar, Phoumin menilai keberhasilan hilirisasi mineral kritis bergantung pada tata kelola yang transparan, berkelanjutan, dan terdiversifikasi.
“Pasar mineral global rentan terhadap asimetri informasi dan volatilitas harga. Diperlukan sistem data mineral global di bawah WTO atau G20 untuk memantau produksi dan stok secara real time,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam pengembangan smelter agar Indonesia tetap kompetitif di pasar teknologi bersih. “Penerapan sertifikasi ESG nasional dan sistem pelacakan produksi bisa memperkuat kepercayaan internasional dan membuka akses pembiayaan hijau,” tambahnya.
Selain itu, diversifikasi kerja sama internasional juga menjadi faktor penting. Inisiatif seperti Inflation Reduction Act di Amerika Serikat dan Minerals Security Partnership membuka peluang kolaborasi baru di luar perjanjian dagang tradisional.
Phoumin menegaskan, strategi hilirisasi Indonesia perlu diiringi kerja sama global yang transparan dan berbasis keberlanjutan. “Keberlanjutan perlu bergerak menuju transisi energi yang terukur, dengan smelter berbasis energi terbarukan dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab,” katanya.

2 hours ago
4












































