REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) dan Himpunan Pengembangan Ekosistem Alat Kesehatan Indonesia (Hipelki) menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan penghapusan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai respons pemerintah terhadap tarif timbal balik yang diberlakukan Amerika Serikat.
"Tarif timbal balik merupakan inisiatif pemerintah Amerika untuk melindungi kepentingan negaranya. Maka, pemerintah Indonesia juga perlu memiliki sudut pandang yang sama, yakni memprioritaskan perlindungan kepada industri dalam negeri," ungkap Ketua Umum Aspaki, Imam Subagyo, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Kajian Dampak Pelonggaran Kuota Impor, Pertek dan TKDN terhadap Perkembangan Industri Alat Kesehatan Nasional" yang diselenggarakan di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (5/5/2025).
Imam menjelaskan bahwa kemandirian alat kesehatan di Indonesia telah dibangun sejak 1998 saat negara mengalami krisis ekonomi, dan kemudian diperkuat pasca pandemi Covid-19 melalui penerapan TKDN. Menurutnya, pembangunan industri alat kesehatan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
"Keputusan untuk melakukan deregulasi TKDN, apalagi mengeliminasinya, adalah keputusan yang harus dikaji dengan seksama. Adanya kekurangan dalam tata kelola, maupun tata laksana TKDN memang harus diperbaiki, tapi bukan alasan untuk membunuh TKDN," katanya menegaskan.
Senada dengan Imam, Ketua Umum Hipelki, dr Randy H. Teguh menekankan pentingnya mengingat ketahanan industri alat kesehatan pascapandemi. Ia menggunakan tagar #IndustriAlkesMenolakLupa untuk mengingatkan pemerintah akan hal tersebut.
"Kami paham dan menghargai niat baik pemerintah untuk melindungi kepentingan ekspor Indonesia ke AS. Meski demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa Indonesia juga pernah terpuruk dalam masalah ketahanan dan kemandirian alkes saat terjadi pandemi Covid-19," kata Randy.
Randy mengungkapkan bahwa industri alat kesehatan telah menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Data menunjukkan peningkatan signifikan dari 47 perusahaan dengan 13.000 tenaga kerja pada 2019 menjadi 117 perusahaan dengan 20.500 tenaga kerja pada akhir 2022. Angka ini terus bertambah hingga mencapai 891 perusahaan pada 2025.
"Kebijakan yang salah langkah bisa memberikan dampak signifikan bagi tenaga kerja," katanya menambahkan.
Sementara itu, pakar kebijakan kesehatan dan Guru Besar FK-KMK UGM, Prof Laksono Trisnantoro, yang juga hadir dalam FGD tersebut, mengatakan bahwa ada ketimpangan mendasar antara permintaan teknologi kesehatan canggih dengan kemampuan pembiayaan sistem kesehatan di Indonesia.
"Rumah sakit terus didorong mengadopsi teknologi modern, namun tarif JKN sering tidak mencukupi untuk menutupi biaya investasi dan operasionalnya," ujar Laksono.
Randy juga menyebutkan kekhawatirannya bahwa pemerintah mungkin tidak hanya berencana melakukan relaksasi TKDN, tetapi eliminasi total. "Khawatirnya kan bukan hanya relaksasi, tapi eliminasi. Ke media, presiden selalu bilang ini relaksasi, tapi jangan-jangan bukan itu," ujarnya.