Anggota DPR Dorong Implementasi dari Resolusi Internasional soal WPS

17 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peran perempuan dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia terus menjadi sorotan dalam forum-forum internasional. Sejumlah tokoh perempuan Indonesia mendorong implementasi konkret dari resolusi internasional terkait Women, Peace, and Security (WPS), terutama dalam konteks diplomasi pertahanan dan pengambilan keputusan politik.

Pimpinan BKSAP DPR RI, Irine Yusiana mengkritik masih minimnya pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam sektor perdamaian dan keamanan. Ia menegaskan bahwa tanpa keterlibatan perempuan, upaya perdamaian dan keamanan menjadi tidak masuk akal. Irine menyoroti pentingnya afirmasi kebijakan agar perempuan bisa berperan secara setara.

“Kuncinya adalah afirmasi. Kalau mau perempuannya bisa maju dan berdaya bersama dengan laki-laki untuk mengupayakan dunia yang lebih baik,” ujarnya dalam Seminar Peran Strategis Sektor Pertahanan dalam Agenda Women, Peace, and Security (WPS) di Universitas Pertahanan, Rabu (7/5/2025).

Irine juga menekankan bahwa komitmen terhadap pengarusutamaan gender harus dilandasi tindakan nyata, bukan hanya retorika. Ia menyebut Indonesia telah menjadi inisiator dalam mendorong partisipasi perempuan di tingkat global, termasuk di PBB. Namun, menurutnya, ukuran kemajuan bukan hanya jumlah perempuan di parlemen, melainkan seberapa banyak regulasi yang berpihak pada kesetaraan gender.

“Hari ini tuntutan untuk WPS bukan lagi sekadar jargon. Ini adalah PR kita bersama,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI, Desy Ratnasari menegaskan, perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Ia merujuk pada Resolusi 1325 Dewan Keamanan PBB yang menegaskan peran perempuan dalam perdamaian global.

“Perempuan harus menjadi pengambil keputusan dan subjek aktif dalam pelaksanaan pertahanan,” kata Desy. Ia menekankan bahwa jika perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, maka kebijakan tersebut tidak akan mencerminkan kepentingan dan kebutuhan perempuan secara utuh.

Desy juga mengkritik budaya politik yang masih mengabaikan sensitivitas gender. Ia mengajak semua pihak untuk memberi ruang dan kesempatan yang adil bagi perempuan. Ia menyampaikan bahwa keterlibatan perempuan bisa memberikan pendekatan yang lebih inklusif dan damai, terutama dalam konflik yang kompleks seperti di Palestina dan Israel.

Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka menambahkan, pengarusutamaan agenda Women, Peace, and Security harus menjadi prioritas, terutama di sektor pertahanan. Dalam seminar di Universitas Pertahanan, Diah menekankan pentingnya sinergi antara lembaga pertahanan, parlemen, dan masyarakat sipil untuk mengintegrasikan kerangka WPS dalam kebijakan nasional.

“Perempuan harus diakui sebagai agen perubahan, terutama sebagai mediator dan negosiator perdamaian,” tegas Diah.

Diah menyoroti kontribusi Indonesia yang telah memiliki regulasi pendukung seperti UU Nomor 7 Tahun 2012 dan Perpres No. 18 Tahun 2014. Indonesia juga telah menyusun dua rencana aksi nasional perlindungan dan pemberdayaan perempuan dalam konflik sosial. Hal ini, menurutnya, mencerminkan keseriusan Indonesia dalam melaksanakan agenda global WPS.

“Parlemen juga aktif mendorong Kementerian Pertahanan untuk meningkatkan kapasitas dan persentase perempuan di sektor pertahanan,” katanya.

Di tingkat internasional, Indonesia telah aktif mengirimkan pasukan penjaga perdamaian yang dilatih khusus dalam aspek perlindungan hak asasi manusia dan sensitifitas gender. Diah menyebut bahwa Indonesia termasuk negara dengan peringkat tinggi dalam indeks perdamaian global.

“Kita ingin Indonesia menjadi pusat pelatihan dan riset dalam penguatan peran perempuan di sektor perdamaian,” jelasnya. Ia juga berharap seminar dan forum seperti ini bisa terus memperkaya gagasan dan mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan.

Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas Pertahanan, Bambang Irwanto menjelaskan, pentingnya pemahaman konseptual terhadap peace and security. Ia menegaskan bahwa keamanan bukan lagi semata urusan militer, melainkan juga menyangkut kebebasan dari rasa takut dan ancaman.

“Ancaman adalah sumber ketakutan. Maka keamanan harus dimaknai sebagai kebebasan dari ancaman itu,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa jika sebuah negara gagal memberikan perlindungan, maka komunitas internasional memiliki legitimasi untuk melakukan intervensi.

Read Entire Article
Politics | | | |