REPUBLIKA.CO.ID, MUMBAI – Kepentingan mencaplok wilayah Kashmir menjadi salah satu pemicu pemerintahan India belakangan berpaling ke Tel Aviv. Menyusul serangan April lalu, kekhawatiran bahwa Kashmir akan diperlakukan seperti Gaza mencuat.
Setelah memperoleh Kemerdekaan pada tanggal 15 Agustus 1947, India memberikan suara menentang resolusi Majelis Umum PBB tentang pembagian Palestina pada 29 November 1947. Pengakuan India terhadap Israel terjadi setelah semua negara Arab tetangga Israel menandatangani gencatan senjata dengan negara Yahudi tersebut.
Korespondensi pertama Jawaharlal Nehru dengan Israel terjadi pada 1962 ketika ia menulis surat kepada Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion selama perang dengan Cina. Nehru meminta bantuan Israel dalam bentuk senjata dan amunisi secara rahasia, hal yang ditolak Ben-Gurion.
India kembali terpaksa menghubungi Israel selama perang pada 1971 dengan Pakistan. AS saat itu sedianya mendukung Islamabad, tetapi Israel memilih untuk memenuhi permintaan bantuan India.
Pada 1988, India menjadi salah satu negara pertama yang mengakui Negara Palestina setelah PLO mendeklarasikan kemerdekaan. Pada 1996, India membuka Kantor Perwakilannya di Gaza, yang kemudian dipindahkan ke Ramallah.
Namun pada 1999, terjadi perang Kargil. Kala itu Pakistan dan India merebutkan wilayah perbatasan di Jammu-Kashmir tersebut. Pada 3 Mei 1999, India merasa pasukan Pakistan hendak memasuki wilayah tersebut dan melancarkan serangan balasan, yang diberi nama sandi Operasi Vijay. Namun, pasukan India, yang menggunakan peralatan militer dan teknis yang sudah ketinggalan zaman, kesulitan menemukan dan menyerang tentara Pakistan yang bersembunyi di lokasi-lokasi strategis.
India meminta bantuan. Namun New Delhi menghadapi embargo teknologi, ekonomi dan senjata oleh negara-negara, yang dipimpin oleh AS, karena uji coba senjata nuklirnya pada 1998. Hanya satu negara yang secara terbuka mendukung India, yaitu Israel.
Israel, meskipun merupakan sekutu AS, membantu India dengan mortir dan amunisi, bahkan memberikan Angkatan Udara India rudal berpemandu laser untuk jet tempur Mirage 2000H miliknya.
Dalam buku The Evolution of India’s Israel Policy karya Nicolas Blarel, Israel menghadapi tekanan dari AS dan komunitas internasional untuk menunda pengiriman peralatan pertahanan ke India. Namun Israel terus maju dan mengirimkan senjata yang sangat dibutuhkan tepat waktu.
Tak hanya itu, Israel juga menyediakan foto-foto dari satelit militernya untuk mencari lokasi strategis Angkatan Darat Pakistan. India adalah pemimpin Gerakan Non-Blok (GNB) selama era Perang Dingin dan memelihara hubungan dekat dengan dunia Arab dan Uni Soviet. Hal ini juga berarti bahwa India tidak mendukung rezim “kolonial” (seperti Israel) atau apartheid (Afrika Selatan).
Setelah perang Kargil, pemerintahan BJP yang dipimpin Atal Bihari Vajpayee mengirim Menteri Luar Negeri Jaswant Singh ke Israel untuk kunjungan bilateral pertama pada tahun 2000. LK Advani, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, juga mengunjungi Israel pada tahun yang sama.
India merasakan kebutuhan untuk memodernisasi infrastruktur pertahanannya yang rapuh setelah perang Kargil dan meminta bantuan Israel, yang terkenal dengan teknologi pertahanannya yang canggih. India menandatangani perjanjian pertahanan pertamanya dengan Israel pada tahun 2000 untuk sistem rudal permukaan-ke-udara Barak-1.
Pada 2003, Ariel Sharon menjadi Perdana Menteri Israel pertama yang mengunjungi India. Meskipun Sharon harus mempersingkat kunjungannya karena serangan di Tel Aviv, Wakil Perdana Menterinya Yosef Lapid menyatakan bahwa: "India dan Israel memiliki hubungan dekat dalam bidang pertahanan dan Israel adalah pemasok senjata terbesar kedua ke India."