Michael Tjakra
Gaya Hidup | 2025-12-03 20:24:21
Pernahkah kita merasa bahwa hidup selalu punya batas waktunya? Sejak sekolah, kita dibentuk oleh tenggat: tugas harus selesai hari ini, pekerjaan harus beres sebelum deadline. Mau tidak mau, kita belajar bergerak cepat, seolah-olah waktu terus mengejar. Lama-kelamaan, kebiasaan ini merembes ke kehidupan pribadi tanpa kita sadari.
Saya menyadarinya dari pengalaman pribadi. Salah satu orang terdekat saya, seorang pekerja yang sangat terjadwal, bahkan tidak bisa menikmati liburan tanpa tergesa-gesa. Dari satu tempat wisata ke tempat lain, ia harus cepat, seakan ada daftar pencapaian yang harus diselesaikan. Ketika saya bertanya, ia berkata bahwa ritme kerjanya membuatnya sulit melambat. Dari situ saya menyadari: dunia kita memang bergerak terlalu cepat. Kecepatan seolah menjadi tanda kesuksesan.
Dan ternyata, pola hidup terburu-buru itu bukan sekadar kebiasaan pribadi. Ia tumbuh menjadi budaya, didorong oleh masyarakat yang menuntut kecepatan dalam segala hal. Dalam kajian sosiologi, fenomena ini dikenal sebagai percepatan sosial (social acceleration), sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Hartmut Rosa. Ia menjelaskan bahwa masyarakat modern terdorong untuk bergerak semakin cepat karena dua tuntutan besar: efisiensi dan produktivitas. Segala hal dihitung berdasarkan waktu dan hasil. Bahkan waktu senggang yang seharusnya menjadi ruang untuk berhenti sejenak ikut berubah menjadi aktivitas yang harus "bernilai", "bermanfaat", dan tidak boleh terbuang percuma. Perasaan dikejar waktu tidak lagi berhenti ketika jam kerja selesai, tetapi mengikuti kehidupan pribadi seseorang layaknya bayangan.
Karena percepatan sosial itu, muncul sebuah standar baru dalam masyarakat: menjadi cepat identik dengan menjadi berhasil. Semakin sibuk seseorang, semakin ia dianggap penting. Semakin padat agenda seseorang, semakin ia dipandang hebat. Akibatnya, ritme sosial membentuk pola kompetisi tidak terlihat siapa paling cepat, siapa paling produktif, siapa paling efisien. Bahkan saat seseorang sebenarnya ingin melambat, ia tetap merasa bersalah, takut tertinggal, atau dianggap tidak ambisius. Pada titik ini, kita bukan lagi mengatur waktu, melainkan waktu yang mengatur kita.
Dalam budaya percepatan sosial, pihak yang paling diuntungkan adalah institusi ekonomi terutama perusahaan besar dan pasar kerja kompetitif. Sistem produksi modern mengonversi “kecepatan” menjadi “nilai”, karena semakin cepat pekerja menyelesaikan tugas, semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan. Narasi “waktu adalah uang” tidak muncul secara alami; ia dibangun dan dipelihara agar pekerja selalu dalam mode produktif. Akibatnya, bekerja cepat diposisikan sebagai identitas diri: orang merasa dihargai ketika mereka sibuk, saat kalender penuh, ketika istirahat dianggap kemalasan. Tanpa disadari, manusia menilai dirinya berdasarkan performa kerja, bukan kesejahteraan personal.
Pihak lain yang turut diuntungkan adalah industri digital dan teknologi platform belanja online, layanan pesan antar, media sosial, hingga hiburan berbasis cepat seperti video berdurasi singkat. Semuanya didesain untuk memuaskan keinginan instan dan memacu ritme hidup yang kian cepat. Semakin cepat orang bergerak, semakin besar peluang industri digital memonopoli perhatian, waktu, hingga uang. Akhirnya, masyarakat didorong untuk menyukai hal-hal yang serba cepat, karena sistem besar di baliknya memperoleh keuntungan finansial dan kekuasaan lewat pola konsumsi manusia. Budaya “harus cepat” tidak hanya dilestarikan, tetapi dipasarkan sebagai gaya hidup modern.
Namun di balik keuntungan bagi institusi ekonomi dan teknologi, ada pihak yang menanggung kerugiannya: manusia sebagai individu. Ketika hidup dipaksa berjalan serba cepat, ruang untuk menikmati proses, merasakan jeda, dan menghayati momen menjadi hilang. Istirahat sering terasa seperti kesalahan. Rasa bersalah muncul saat tubuh ingin berhenti, padahal berhenti adalah kebutuhan biologis dan emosional. Kondisi ini pelan-pelan melelahkan jiwa. Banyak orang akhirnya hidup seperti mesin produktivitas, bukan sebagai manusia dengan ritme, emosi, dan kebutuhan untuk menikmati hidup. Ironisnya, semakin cepat seseorang bergerak, semakin terasa bahwa waktunya tidak pernah cukup.
Dampak lainnya muncul dalam hubungan sosial. Ketika semua orang terjebak dalam budaya percepatan, relasi antar manusia menjadi transaksional dan dangkal. Percakapan dipersingkat, pertemuan dianggap gangguan, dan kebersamaan diukur oleh efisiensi, bukan kedekatan emosional. Budaya terburu-buru menciptakan manusia yang hadir secara fisik, tetapi absen secara batin. Bahkan saat berkumpul dengan teman atau keluarga, pikiran sering berlari ke agenda berikutnya. Pada titik ini, percepatan sosial tidak hanya menggerus kesehatan mental, tetapi juga memotong ruang sosial yang paling dasar: kehangatan, kedekatan, dan rasa terhubung dengan sesama.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Memperlambat hidup tentu bukan berarti menolak perkembangan zaman atau menyerukan agar semua orang kembali ke kehidupan tradisional. Yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk memilih ritme hidup yang manusiawi. Kita bisa mulai dari hal sederhana: memberi ruang jeda dalam aktivitas, menikmati proses tanpa merasa bersalah, dan memahami bahwa nilai hidup tidak hanya diukur dari produktivitas.
Perusahaan dan lembaga kerja juga perlu menciptakan budaya yang lebih sehat mengakui bahwa manusia membutuhkan waktu untuk bernapas, bukan hanya bekerja. Perubahan besar selalu dimulai dari perubahan-perubahan kecil dalam pola pikir.
Akhirnya, kita perlu bertanya: untuk siapa sebenarnya kita bergerak cepat selama ini? Jika jawabannya bukan untuk diri kita sendiri, mungkin sudah waktunya merumuskan ulang standar kesuksesan. Hidup bukan perlombaan siapa yang paling cepat mencapai tujuan, tetapi tentang bagaimana kita menjalani perjalanan itu. Ketika kita mulai menempatkan kualitas hidup, kedekatan sosial, dan kesehatan mental di atas obsesi kecepatan, kita sedang menciptakan masa depan yang lebih manusiawi. Dunia boleh bergerak cepat tetapi manusia tetap berhak untuk berjalan dengan ritme yang membuatnya tetap utuh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 day ago
11











































