Petugas laboratorium menguji sampel ompreng dari makanan bergizi gratis (MBG) di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Samarinda Ulu 2 di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (27/8/2025). Pengujian ompreng tersebut sebagai respon adanya dugaan ompreng yang berasal dari Chaoshan, China, yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan minyak babi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus dugaan penggunaan lemak babi dalam nampan atau food tray Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi alarm keras bahwa kemasan pangan dinilai tidak boleh dianggap sepele.
Meski kewajiban sertifikasi halal untuk kemasan baru berlaku penuh pada Oktober 2026, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menegaskan risiko kehalalan dan keamanan sudah nyata sejak sekarang.
LPPOM MUI mencatat, dari ribuan baki yang digunakan dalam program MBG, baru satu produk yang tercatat memiliki sertifikat halal di laman BPJPH, yakni Food Tray 5 Sekat MBG dari PT Gasindo Alam Semesta. Menurut LPPOM, fakta ini menunjukkan perlunya percepatan sertifikasi halal di sektor kemasan pangan.
“Langkah sertifikasi tidak hanya sebatas memenuhi kewajiban regulasi, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral produsen dalam melindungi konsumen,” kata Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati lewat keterangan tertulis, Senin (1/8/2025).
Keberhasilan MBG, tambahnya, tidak semata ditentukan oleh kandungan gizi makanan, melainkan juga jaminan bahwa semua bahan, termasuk kemasan, benar-benar aman dan halal. Dengan begitu, cita-cita melahirkan generasi sehat dan cerdas dapat terwujud tanpa risiko tersembunyi.
Program MBG yang dirancang pemerintah untuk meningkatkan gizi 82,9 juta siswa dengan anggaran Rp116,6 triliun, kini menghadapi sorotan bukan hanya dari sisi nutrisi, melainkan juga dari aspek kemasan.
Dugaan penggunaan pelumas industri berbasis lemak babi dalam proses produksi baki MBG membuat isu ini semakin sensitif, karena kemasan bersentuhan langsung dengan makanan.