Muhammad Anja Faiz
Pendidikan dan Literasi | 2025-06-22 11:03:00
Pandangan segi Islam
Syariat Islam dalam konteks Quran dan Hadis itu juga mengatur berbagai aspek kehidupan manusia sehari-hari. Dengan memberi petunjuk mana yang sebaiknya dilakukan dan mana yang tidak pantas dilakukan. Salah satu ajarannya adalah etika makan dan minum. Terkait adab makan dan minum juga memberi bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Atas dasar tersebut, maka praktik makan dan minum mestinya dilakukan secara benar dan sesuai dengan syariat Islam, baik dilakukan sendiri, bersama keluarga ataupun dengan teman atau orang lain. Seperti Menjaga kebersihan anggota badan termasuk mencuci tangan sebelum makan atau minum, tidak makan secara berlebih-lebihan hingga kekenyangan, begitu pula tidak makan dan minum sambil berdiri merupakan adab makan dan minum yang telah dikenal dalam ajaran Islam.
Hukum makan dan minum sembari berdiri kadang menjadi perbincangan di kalangan umat Islam. Sebagian menilai dilarang atau makruh, sedangkan sebagian yang lain menganggap boleh-boleh saja.
Dalam hadits yang lain, Nabi diketahui pernah minum air zamzam dengan posisi berdiri. Nampaknya, perbincangan mengenai hukum boleh dan tidaknya minum atau makan dalam posisi berdiri bersumber dari dua hadits di atas.
Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah minum air zamzam sembari berdiri diceritakan Sayyidina Ali dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari. Dalam hadits itu Sayyidina Ali bahkan seolah mempraktikkan apa yang pernah dilakukan Rasulullah.
Berikut ini redaksi haditsnya: وعن الإمام علي رضي الله عنه أنه في رحبة الكوفة شرب وهو قائم قال إن ناسا يكرهون الشرب قائما وإن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم صنع مثل ما صنعت رواه أحمد والبخاري Artinya, “Dari Imam Ali RA bahwa ia di satu lapangan di Kota Kufah meminum dalam posisi berdiri. Ia berkata, ‘Banyak orang memakruhkan minum dalam posisi berdiri. Padahal Rasulullah SAW melakukan apa yang kulakukan,’” (HR Ahmad dan Bukhari).
Memaknai dua hadits di atas yang terkesan bertentangan itu, hendaknya bersandar pada pendapat para ulama. Ustadz Alhafiz Kurniawan dalam tulisannya di NU Online berjudul Hukum Makan dan Minum sambil Berdiri, menegaskan bahwa Imam Nawawi mendalami hadits itu dengan mencari titik temu agar keduanya dapat tersampaikan kepada umat Islam dengan baik dan tetap terakomodasi menjadi sebuah dalil atau hukum.
Mayoritas hadits menganjurkan untuk tidak makan dan minum sambil berdiri, kecuali memang ada uzur yang tidak memungkinkan untuk makan atau minum sambil duduk. Selain itu, makan dan minum sambil berdiri menyalahi keutamaan.
Pada prinsipnya, praktik makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan. Hanya saja makan dan minum sambil duduk lebih utama. Dengan demikian, makan atau minum sambil berdiri hukumnya boleh, hanya saja bagi orang yang tidak memiliki uzur atau hajat tertentu sangat dianjurkan untuk mengejar keutamaan dengan cara makan atau minum sambil duduk.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis kemarin ada 3. Pertama, yaitu ontologi. Kedua, epistemologi. Ketiga, Aksiologi. Disini kami mengambil landasan filosofis epistemologi yang berkaitan dalam segi pengetahuan dan pendekatan normatif dalam segi agama maupun empiris dalam segi sains.
Jadi, dalam pandangan epistemologi ini menunjuka bahwa bagaimana ajaran agama Islam khususnya melalui hadist-hadist Nabi Muhammad Saw. Itu memberi panduan yang tidak hanya berdasarkan norma, tetapi juga didukung oleh bukti empiris yang membangun keseimbangan antara wahyu dan fakta ilmiah sehingga tumbuh pengetahuan komprehensif.
Adab makan minum dalam islam seperti makan dan minum sambil duduk itu memang dianjurkan karena memberi manfaat baik dari segi spiritual dan kesehtan fisik. Hal ini menunjuukan bahwa ajaran agama tidak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan fisik umatnya.
Sahrah. (2016). Etika Makan dan Minum. Al-Daulah, Vol. 5.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.