Study Rizal Lolombulan Kontu
Agama | 2025-05-19 14:52:00
“Islam harus dibawa masuk ke dalam realitas masyarakat, bukan dipertentangkan dengannya,” ujar Harun Nasution suatu kali. Kalimat itu seperti mengandung seluruh nafas dari apa yang hari ini kita kenal sebagai Mazhab Ciputat. Sebuah mazhab yang tidak lahir dari ruang seminar, tetapi dari keringat dialektika, dari desir keinginan untuk menjembatani langit wahyu dan tanah tumpah darah kita, Indonesia.
Mazhab ini tidak diwariskan lewat dogma. Ia menitis lewat percakapan panjang di koridor kampus, lewat diskusi tengah malam di sekretariat mahasiswa, lewat keresahan yang tak selesai dalam menatap masa depan Islam di negeri plural ini. Bagi mereka yang menjalaninya, Ciputat bukan hanya tempat. Ia adalah keadaan jiwa. Sebuah kesadaran intelektual bahwa Islam, untuk menjadi bermakna, harus sudi berdialog dengan konteks.
Sejak Harun Nasution memperkenalkan pendekatan rasional dalam studi Islam di awal 1970-an, benih pembaruan itu mulai tumbuh. Harun tidak sedang memaksa Barat masuk ke ruang Islam. Ia hanya menantang kemalasan berpikir, menolak kekakuan dalam memahami teks, dan mengajak umat untuk berani menyeberang dari sekadar menghafal menuju memahami. Dalam kata lain, ia memulai semangat berpikir yang merdeka. Semangat itulah yang kelak disambut oleh Nurcholish Madjid dengan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No”—bukan sebagai penolakan terhadap agama, melainkan pembebasan Islam dari monopoli identitas dan kekuasaan.
Kemudian datang Azyumardi Azra, dengan pelan namun pasti, meletakkan landasan historis bahwa Islam Indonesia bukan tiruan, melainkan kesinambungan dari jejaring ulama dan intelektual Asia Tenggara sejak abad pertengahan. Dalam karya-karyanya, Azra menunjukkan bahwa Islam di Nusantara ini tidak inferior. Justru ia punya keunggulan: ia lentur, ia pemaaf, dan ia mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan ruhnya. Mazhab Ciputat lalu bergerak dengan kaki-kaki yang mantap: berpikir progresif, tetapi tetap bersumber dari akar.
Yang istimewa dari Mazhab Ciputat adalah obsesinya yang tenang tapi kukuh untuk menyambungkan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu kemanusiaan. Mereka tidak menempatkan Al-Qur’an dan hadis dalam ruang steril yang terpisah dari realitas sosial. Bagi mereka, ayat-ayat Tuhan harus dibaca beriringan dengan realitas kemiskinan, ketidakadilan, dan pluralitas. Islam bukan sekadar wacana transendental, melainkan juga proyek etika sosial.
Mazhab ini juga tidak berpretensi menjawab semua soal. Ia justru seringkali memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Tapi di sanalah letak daya hidupnya: selalu mencari, selalu bertanya, dan selalu bersedia memperbarui diri.
Namun, seperti halnya semua tradisi intelektual, tantangan Mazhab Ciputat hari ini tidak ringan. Zaman telah berubah. Wacana keagamaan tak lagi ditentukan di mimbar-mimbar kampus atau meja redaksi jurnal ilmiah, tapi di kolom komentar media sosial. Polarisasi merajalela. Konservatisme tumbuh bersama algoritma. Dan di tengah riuhnya itu, suara Mazhab Ciputat terdengar lirih—kadang bahkan nyaris tenggelam.
Tetapi sejarah mengajarkan: suara lirih yang jujur seringkali lebih bertahan dari teriakan yang gaduh. Mazhab Ciputat bukan untuk mengejar popularitas. Ia adalah kerja sunyi, kerja akal, kerja nurani. Maka, barangkali tugas generasi baru hari ini bukan membangun ulang Mazhab Ciputat dengan nama yang lain, melainkan menyambung kembali api yang nyaris padam itu—dengan bahasa baru, medium baru, dan keberanian yang sama.
Karena pada akhirnya, misi menyambungkan langit Islam dan bumi Indonesia bukan hanya agenda akademik, melainkan ikhtiar peradaban. (srlk)
* Penulis dan pengkaji pemikiran Mazhab Ciputat, meniti batas antara langit Islam dan bumi Indonesia. Saat ini mengajar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.