Mengenang dan Mencukupkan Nakbah 77

5 hours ago 5

Oleh : Rio Pale, aktivis Komnas untuk Rakyat Palestina (KNRP)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika negara-negara di dunia mengalami demam nasionalisme yang berujung pada kemerdekaan, Palestina justru baru saja terjajah. Di buku yang sama sejarawan Tamim Ansary menyebut zionisme adalah bentuk lain dari nasionalisme. Demam yang terjadi global pada periode tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai kesamaan: latar belakang, budaya, teritori, sejarah dan kehendak bersama. Zionisme punya beberapa unsur yang sama ditambah doktrin dari Talmud. Dengan gerakan politik, doktrin ini dapat diwujudkan, meski orang-orang yang disebut bangsa yahudi pada zaman tersebut tidak “beragama” yahudi dan tidak memiliki teritori. 

Proses yang perlahan, halus, penuh harap belas-kasih migrasi bangsa yahudi ke tanah Palestina berlangsung hampir tanpa tantangan. Tidak pernah terpikir dalam benak bangsa Palestina bahwa: orang-orang yang tadinya dipersekusi, diusir, dibantai di Eropa ini kelak menjadi pencuri, pengusir, dan pembantai mereka pula. Bahkan Ilan Pappe mencatat, pada tahun 1944 zionis membentuk tim mata-mata untuk tinggal, mempelajari keramahan masyarakat asli di sebuah desa bernama Umm Al-Zinat. Mata-mata ini ditugaskan berbahasa Arab, mengikuti kebiasaan masyarakat setempat, mencari tahu lokasi-lokasi seperti masjid, di mana rumah kepala desa dan seterusnya. Hasilnya, pada tahun 1948 desa Umm Al-Zinat hilang sama sekali. Rakyat Palestina yang tadinya tinggal, menyambut, kemudian diusir. 

Tanpa melupakan signifikansi Perjanjian Sykes dan Picot 1916 lalu Deklarasi Balfour 1917, perjuangan rakyat Palestina dimulai dari kesadaran mulai ada diskriminasi atas yahudi di atas tanah mereka. Ketika Herbert Samuel ditunjuk sebagai pejabat yang menangani Palestina seluruhnya pada 1920 oleh kerajaan Inggris, Palestina masih di bawah kekuasaan Utsmani jelang keruntuhannya. Herbert kemudian membuat peraturan-peraturan yang memudahkan migrasi bangsa yahudi ke Palestina, memudahkan orang yahudi untuk menguasai sebidang tanah, dan yang paling parah, memaksa rakyat Palestina menjual tanahnya kepada imigran yahudi. 

Meletuslah Revolusi Arab atau yang disebut juga dengan Pemberontakan Arab-Palestina pada 1936. Kebijakan diskriminatif ini terbaca oleh rakyat Palestina ke mana arahnya. Mereka tidak sudi tanah mereka dirampas dan hak hidup mereka dibatasi. Rakyat Palestina saat itu dipimpin oleh Syekh Izzudin Al-Qassam melakukan perlawanan kebijakan, dan memberi tekanan kepada Inggris yang mempermudah masuk serta penguasaan lahan imigran yahudi. Maka kemudian langkah-langkah represif berubah, pencaplokan kembali dijalankan dengan halus sebagaimana kejadian di Umm Al-Zinat dipaparkan di atas.

Hari ini sudah 19 bulan genosida dilancarkan zionis di Jalur Gaza. Seharusnya tidak ada lagi yang berpikir tragedi ini dimulai pada 7 Oktober 2023. Sebelum israel mendeklarasikan diri sebagai negara, periode 1938-1948 di sisi lain adalah juga tahun-tahun paling berdarah bagi Palestina. Dalam sepuluh tahun, kelompok-kelompok teror zionis di Palestina seperti Irgun, Lehi, dan Palmach telah menciptakan 42 teror yang membunuh lebih dari seribu jiwa demi rencana besar pengusiran dan penjajahan tanah Palestina yang lebih luas.

Salah satu peristiwa penting yang bisa kita ingat adalah teror bom di Hotel King David pada tahun 1946. Kelompok teroris Irgun membunuh 92 jiwa dalam aksi ini. Salah satu anggota Irgun yang terlibat adalah Menachem Begin, nama yang kelak menjabat sebagai perdana menteri Israel pada 1977 hingga 1983.

Kelompok-kelompok teror zionis ini kemudian disatukan, direkrut menjadi tentara pertahanan israel atau israel defense forces (nama yang sama sekali tidak mencerminkan kenyataan). Maka tidak perlu heran ketika membaca detail fakta pembunuhan Hind Rajab, atau berbagai kejadian lain dari 18.000 jiwa anak yang gugur hingga saat ini di Gaza. Baik politisi maupun tentara israel berasal dari DNA para penjahat yang siap meneror dengan cara yang paling kejam demi mencapai tujuannya.

77 Tahun Penjajahan

Tahun ini Palestina genap hidup di bawah penjajahan kaum zionis selama 77 tahun. Tak terhitung tragedi, baik yang kita baca di buku-buku, maupun yang kita lihat langsung di media (sosial). Anak-cucu yang terusir dari Palestina baik sejak 1948 maupun 1967 masih menyimpan keyakinan bahwa mereka akan kembali ke tanah kakek-neneknya. Saat ini generasi keempat dan kelima rakyat Palestina hidup di pengungsian di berbagai negara.

Indonesia di sisi lain merdeka dari penjajahan selama 350 tahun. Jika dihitung dari mendaratnya Cornelis de Houtman pada tahun 1596, tepat 77 tahun kemudian VOC bubar akibat korupsi. Penyebab lainnya adalah bangsa Belanda kalah dari Perancis yang ingin memperluas kekuasaannya di dalam Eropa. Kolonialisme mengubah wajahnya demi melakukan kejahatan yang sama; bahkan kemudian meningkat. Memang ada sedikit harapan dari perpecahan dan korupnya kaum kolonial pada masa itu. Sayang kesadaran melawan belum kolektif muncul sebagai sebuah bangsa.

Harapan itu sangat bisa mewujud di Palestina. Bersatunya para faksi, etika perang yang dijalankan Hamas dan faksi-faksi yang mendukung, tekanan internasional, tuntutan yang berujung penetapan oleh Afrika Selatan bahwa israel entitas apartheid dan melakukan genosida di ICJ, penetapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant sebagai tersangka oleh ICC, penetapan pendudukan israel atas Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai langkah ilegal, dan masih banyak lagi. Banyak upaya baru yang telah dilakukan untuk mengusir penjajah yang telah bercokol selama 77 tahun.

Memang saat ini kita melihat israel tengah melakukan berbagai kekejaman mengerikan, tapi jelas semua itu datang dari kejiwaan yang sakit parah. Kebiadaban israel belakangan ini layaknya orang yang akan jatuh tenggelam ke dalam jurang: meraih semua hal yang bisa. Artinya, semua peningkatan serangan yang membunuh hampir ratusan nyawa setiap hari di Gaza menunjukkan betapa rapuhnya entitas laknat zionis. Kita harus terus memberikan tekanan dalam bentuk apapun hingga Amerika Serikat bertindak waras untuk menghentikan suplai dana dan senjata untuk melihat israel jatuh tenggelam ke jurang laut Mediterania.

Harapan menuju kemerdekaan ini bukan tak ada dasarnya. Pada tahun 1999, Aljazeera mewawancarai Syekh Ahmad Yassin, pendiri organisasi yang saat ini masih memimpin perlawanan. Ketika ditanya pandangannya ke depan mengenai penjajahan israel, beliau dengan penuh keimanan menyatakan: ”israel didirikan dengan ketidakadilan dan perampasan. Semua entitas yang didirikan dengan ketidakadilan dan perampasan takdirnya akan dihancurkan.”

Wawancara ini terjadi setahun sebelum intifada Al-Aqsa. Kongkalikong antara penjajah dan penyokongnya secara gamblang terlihat saat tidak ada yang berubah 6-7 tahun setelah Perjanjian Oslo. Di tengah tekanan yang dialami rakyat Palestina saat itu, ketika ditanya dalam tahap apa israel saat ini, Syekh Ahmad Yassin menjawab: israel akan lenyap pada seperempat awal abad 21; ”Tepatnya, saya katakan bahwa pada tahun 2027, tidak akan ada lagi israel."

Cita-cita dan harapan itu harus disambut dan didukung sepenuhnya sebab tak tersisa alasan untuk menolaknya. Abraham Accord yang dicitrakan akan membawa perdamaian malah melebarkan proksi perang. Sebagian negara Arab yang telah menjalin hubungan diplomatik melalui kesepakatan ini tidak lain menjadi sekadar pro israel dan anti Hamas. Maka, jika masih ada individu atau sekelompok masyarakat Indonesia yang menolak untuk mendukung kemerdekaan Palestina, agaknya perlu kembali membuka-buka buku sejarah.

Pada September 1944, ketika santer Jepang akan memberikan kemerdekaan, Syekh Amin Al-Hussaini menyatakan dukungannya untuk kemerdekaan Indonesia. Dukungan tersebut disampaikan saat beliau dalam incaran intelijen Inggris, disiarkan melalui radio berbahasa Arab di Jerman. Satu tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan akhirnya dikumandangkan. Nama lain yang perlu kita ingat akan kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Muhammad Ali Taher; yang menyumbangkan hartanya untuk menyokong kemerdekaan Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya, rakyat Indonesia yang waras menikmati kemerdekaan harus mengingat sumbangsih dua tokoh bangsa Palestina di atas dalam kemerdekaan kita.

Kini giliran kita untuk menolak lupa, melawan mati rasa untuk satu rasa menghapus penjajahan di atas dunia. Bahkan dengan penuh keyakinan kita tekadkan: cukup 77 tahun kita mengenang Nakbah. Setengah tahun ke depan kita tekadkan untuk terus mendoakan, memboikot, mengabarkan, turun ke jalan, bahkan terus berdonasi. Kita yakin, upaya-upaya kecil selain mendukung semua yang diupayakan pemerintah dapat menyudahi derita yang masih bisa dilihat dan dirasakan ketika mengenangnya.

Kita tidak perlu menunggu 2027. Cukuplah hari ini dan tidak perlu ada lagi setelah peringatan Nakbah yang ke-77.

Read Entire Article
Politics | | | |