Donny Syofyan
Sastra | 2025-04-30 22:40:36

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Sastra selalu menjadi cermin bagi masyarakat, memantulkan nilai-nilai, keyakinan, dan permadani kompleks perilaku manusia. Tetapi bagaimana kita menganalisis dimensi etika sebuah cerita? Bagaimana kita menggali landasan filosofis sebuah puisi? Di sinilah kritik moral dan filosofis berperan, menawarkan lensa untuk mengkaji dampak mendalam sastra.
Pada intinya, kritik moral adalah penyelaman mendalam ke dalam inti etika sastra. Ini adalah eksplorasi tentang benar versus salah, baik versus jahat, dan efek riak dari pilihan karakter dalam sebuah cerita. Pendekatan ini berupaya mengungkap kompas moral sebuah teks—nilai-nilai dan sudut pandang etika yang diwujudkannya. Kritik moral beroperasi pada gagasan mendasar bahwa sastra memiliki kekuatan untuk membentuk perkembangan moral kita sendiri. Melalui cerita, kita dapat mempelajari pelajaran moral yang berharga, merefleksikan dilema etika, dan memperhalus pemahaman kita tentang apa yang merupakan kebajikan dan keburukan. Dengan menganalisis dimensi etika karakter, tema, dan plot, kritik moral mengajak kita untuk dengan penuh pertimbangan merenungkan implikasi moral dari narasi yang kita temui.
Bukanlah cerita baru bahwa moralitas dan sastra kerap bersitegang. Plato, dengan pandangan curiganya, khawatir bagaimana karya seni kata dapat mengusik ketenangan jiwa lewat gelora emosi. Baginya, sensor dan kendali ketat adalah pagar pelindung masyarakat dari pengaruh buruk yang diyakininya inheren dalam sastra. Lain halnya dengan Aristoteles, yang justru melihat potensi budi pekerti dalam sastra melalui konsep katarsis—sebuah pemurnian emosi. Ia meyakini sastra sebagai jendela refleksi etika dan sarana pendidikan moral yang berharga, ruang aman untuk memahami dan mengolah kompleksitas perasaan.
Setelah Plato dan Aristoteles membuka perdebatan, penyair Romawi Horace tampil dengan gagasan yang memperkaya diskusi ini. Ia menekankan dwi-fungsi sastra: menghibur sekaligus mengajar. Baginya, karya sastra yang ideal adalah perpaduan antara kesenangan estetika dan tuntunan moral, sebuah konsep yang gema pengaruhnya terasa kuat dalam kritik sastra berabad-abad kemudian. Perspektif Horace menyoroti betapa krusialnya menyeimbangkan keindahan dengan pesan etika dalam setiap untai dan prosa.
Melangkah maju ke era Victoria, kritikus terkemuka Matthew Arnold mengamini pentingnya "keseriusan tinggi" dalam dunia sastra. Ia berpendapat bahwa karya agung seharusnya bergumul dengan pertanyaan moral dan filosofis yang mendalam, menjadi suluh yang menerangi perkembangan intelektual dan moral pembacanya. Pemikiran Arnold memiliki andil besar dalam mengukuhkan studi sastra sebagai disiplin akademis yang fokus pada pematangan budi dan akal.
Jika kritik moral adalah kompas yang menunjuk arah nilai, maka kritik filosofis adalah teropong yang menelisik cakrawala pemikiran di balik sebuah karya sastra. Ia adalah ekspedisi intelektual yang menggali ide-ide filosofis dan peta dunia yang terukir dalam setiap alur cerita dan bait puisi. Kritik ini berupaya memahami bagaimana sastra bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang siapa kita, bagaimana kita tahu, apa yang benar, dan bagaimana kita menjalani hidup. Pada akhirnya, ia ingin menemukan harta karun berupa implikasi filosofis dan kontribusi sastra dalam memperluas khazanah pemahaman kita tentang semesta.
Untuk mengilustrasikan penerapan praktis kritik moral dan filosofis, mari kita gunakan beberapa karya sastra sebagai studi kasus yang menarik. Ambil contoh, "Young Goodman Brown" karya Nathaniel Hawthorne. Pembaca dengan lensa kritik moral akan bertanya: Apa implikasi etis dari hilangnya iman Brown? Bagaimana cerita ini menggambarkan konsekuensi psikologis dari kekecewaan spiritual? Apakah Hawthorne menyajikan pandangan pesimistis tentang potensi kebaikan manusia?
Dalam "Everyday Use" karya Alice Walker, kritik moral akan memfokuskan diri pada tindakan dan motivasi karakter Dee dan narator. Pertanyaan kuncinya adalah: Apakah tindakan Dee mencerminkan penghormatan yang tulus terhadap warisan budayanya? Bagaimana pilihan narator dalam mempertahankan artefak keluarga menyampaikan pesan moral tentang nilai-nilai tradisional?
Saat kita membaca "Frankenstein" karya Mary Shelley, kritik moral akan menggali lebih dalam kesombongan Victor dan tanggung jawabnya terhadap ciptaannya. Pertanyaan etis yang muncul adalah: Apakah ambisi ilmiah tanpa batas dapat dibenarkan secara moral? Apa kewajiban seorang pencipta terhadap ciptaannya? Bagaimana novel ini memperingatkan kita tentang konsekuensi moral dari kemajuan tanpa etika?
Analisis moral terhadap puisi "To His Coy Mistress" karya Andrew Marvell akan mempertanyakan justifikasi etis dari argumen sang pembicara. Apakah taktik persuasifnya dapat diterima secara moral? Bagaimana puisi ini merefleksikan pandangan masyarakat pada masa itu tentang cinta, waktu, dan seksualitas?
Dalam tragedi "Hamlet" karya William Shakespeare, kritik moral akan berpusat pada dilema etika yang dihadapi oleh para karakter. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah balas dendam dapat dibenarkan secara moral? Bagaimana pilihan Hamlet dipengaruhi oleh pertimbangan etis? Apa konsekuensi moral dari keragu-raguan dan penundaan?
Terakhir, "Huckleberry Finn" karya Mark Twain mengundang analisis moral tentang perkembangan karakter Huck dan kritik novel terhadap masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah: Bagaimana perjalanan Huck menyuarakan penolakan terhadap rasisme dan ketidakadilan sosial? Apa yang Twain ingin ajukan tentang sumber moralitas yang sejati—aturan masyarakat atau hati nurani individu?
Lensa kritik moral dan filosofis bagaikan permata ganda yang memperkaya pemahaman kita akan sastra. Ia menghubungkan jalinan narasi dengan benang-benang etika dan pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar. Pendekatan ini menstimulasi nalar kritis kita untuk merenungkan lanskap nilai moral, labirin pilihan etika, dan kompleksitas yang tak terhindarkan dari eksistensi manusia. Namun, bagai pedang bermata dua, metode ini bukannya tanpa tantangan.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa interpretasinya rentan terhadap subjektivitas, berpotensi memaksakan bingkai nilai pribadi pada kanvas teks. Tersembunyi pula bahaya didaktisisme yang berlebihan, yang dapat mereduksi keindahan estetika sebuah karya menjadi sekadar pesan moral semata, serta mengaburkan aspek krusial lainnya seperti konteks historis yang melahirkannya atau keindahan struktur formalnya.
Kendati demikian, di tengah berbagai tantangan yang mengiringinya, kritik moral dan filosofis tetaplah sebuah kompas yang berharga untuk menavigasi dampak etika dan filosofis dalam dunia sastra. Ia mengajak kita untuk menyelami kedalaman makna, menghubungkan resonansi cerita dengan nilai-nilai moral dan refleksi etika yang kita anut, serta menantang kita untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan agung tentang hakikat kemanusiaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.