Menjaga Martabat Manusia di Tengah Ancaman Otoritarianisme

3 hours ago 4

loading...

Puspita Ayu Hapsari, Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional President University. Foto/Dok. SindoNews

Puspita Ayu Hapsari
Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional
President University

SETIAP10 Desember, dunia merayakan hari Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, saban tahun dunia masih menyaksikan pelanggaran HAM di berbagai penjuru dunia. Misalnya, perang yang menghancurkan martabat manusia, kekerasan atas minoritas dan kaum perempuan, otoritarianisme yang merajalela memberangus hak-hak sipil dan kebebasan masyarakat terjadi di banyak negara.

Dalam perayaan tahun ini, tulisan singkat ini memproblematisasi bagaimana pelaksanaan HAM di Asia Tenggara? Apa tantangan pelaksanaan dan bagaimana meningkatkan kesadaran untuk perlindungan HAM?

Di Asia Tenggara, HAM, sejatinya, acap berada dalam tarik-menarik antara komitmen moral dan realitas politik yang keras. Di satu sisi, kawasan ini telah menandatangani pelbagai instrumen internasional; di sisi lain, rezim politik di sejumlah negara acap memanfaatkan bahasa stabilitas dan budaya lokal untuk menunda, membatasi, atau menghindar dari kewajiban menghormati martabat manusia yang adiluhung.

Itulah paradoks Asia Tenggara, satu kawasan yang penuh vitalitas sosial, diversitas agama, dan energi ekonomi, namun masih bergumul dengan luka-luka lama otoritarianisme yang belum sepenuhnya sembuh.
Bahkan, belakangan mengalami pengerasan.

Karenanya, membaca kondisi HAM di Asia Tenggara mengandung arti kita tidak bisa sekadar menelaah laporan tahunan organisasi internasional di bidang HAM. Kita perlu menengok dinamika batin masyarakatnya, dalam hal bagaimana warga memahami martabat, bagaimana negara memaknai kekuasaan, dan bagaimana agama digunakan sebagai ruang perlindungan moral atau sebaliknya dimanipulasi sebagai legitimasi kekerasan. Pendekatan ini penting, sebab HAM bukanlah konsep legal yang berdiri sendiri, namun, ia adalah bagian dari ekologi sosial yang membentuk cara kita memperlakukan sesama.

Semenjak didirikan, ASEAN menempatkan prinsip non-interference sebagai fondasi kerjasama Kawasan dalam menjaga stabilitas dan perdamaian. Prinsip ini, sejatinya, bertujuan menjaga stabilitas dan mencegah eskalasi konflik antarnegara. Namun, dalam konteks HAM, prinsip itu acap menjadi persoalan, karena ia membatasi kemampuan ASEAN untuk bersuara atas pelanggaran serius yang terjadi di negeri tetangga. Sebagi suatu akibat, kekerasan politik acap dibiarkan menjadi urusan domestik, meskipun dampaknya melintasi batas negara.

Misalnya, krisis Rohingya dan kekerasan pasca-kudeta militer Myanmar. Ratusan ribu warga terusir, dibunuh, atau mengungsi ke Bangladesh dan negara lain, termasuk Malaysia dan Indonesia.

Dalam hal ini, negara-negara anggota ASEAN tampak canggung untuk mengeluarkan tekanan nyata. Mereka memilih bahasa yang hati-hati: “keprihatinan”, “dialog inklusif”, “normalisasi bertahap”. Bahasa diplomatik ini nyaman bagi elite politik, tetapi sejatinya mengkhianati mereka yang kehilangan hak paling mendasar, yaitu hak hidup, hak aman, hak bermartabat.

Read Entire Article
Politics | | | |