Menyambut Kelahiran Direktorat Jenderal Pesantren

1 hour ago 3

Oleh : Muhammad Irfanudin Kurniawan, Dosen Universitas Darunnajah, email [email protected]

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agustus 2024 lalu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Basnang Said, menyampaikan fakta menarik di hadapan Komisi VIII DPR: jumlah pesantren di Indonesia melonjak 11.000 dalam lima tahun terakhir.

Dari 29.000 pesantren di tahun 2019, kini tercatat 41.220 pesantren dengan 4,9 juta santri (data semester ganjil 2023/2024). Angka fantastis yang menunjukkan bahwa UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren memang berhasil memotivasi masyarakat untuk mendirikan pesantren.

Tapi di balik euforia pertumbuhan kuantitas ini, ada pertanyaan krusial yang menunggu jawaban: Apakah kita sudah mengoptimalkan implementasi UU Pesantren? Apakah struktur kelembagaan pembinaan kita sudah memadai untuk melayani 41 ribu lebih pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?

Jawabannya tegas: belum.

Di sinilah pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren menjadi sangat relevan, bukan sebagai tuntutan baru, tetapi sebagai langkah strategis mengoptimalkan amanat UU Pesantren yang mengatur tiga fungsi fundamental: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Realitas hari ini menunjukkan bahwa pesantren bertambah pesat, tapi pembinaan justru terfragmentasi di berbagai direktorat. Ada Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, ada pula Direktorat Pendidikan Agama Islam, belum lagi koordinasi dengan direktorat lainnya. Fragmentasi ini bukan sekadar soal struktur organisasi, ini berimplikasi langsung pada efektivitas pembinaan yang diamanatkan Pasal 47 UU Pesantren.

Coba kita bayangkan seorang pengurus pesantren kecil di pelosok Nusa Tenggara yang ingin mengakses fasilitasi pemerintah. Ia harus berburu informasi ke berbagai direktorat, mengurus administrasi yang berbeda-beda, menghadapi koordinasi yang tidak efisien. Program overlap, bahkan kontradiktif antar direktorat, bukan hal langka. Ini realitas yang dihadapi ribuan pesantren, terutama yang berada di daerah terpencil.

Tiga Fungsi, Satu Rumah Besar

UU Pesantren dalam Pasal 4 dengan tegas menyebutkan bahwa pesantren berfungsi menyelenggarakan pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Tiga fungsi ini bukan daftar menu yang bisa dipilih sesuka hati, tetapi satu kesatuan integral yang harus berjalan sinergis. Dan untuk itu, dibutuhkan satu "rumah besar" yang fokus—kehadiran Direktorat Jenderal Pesantren bisa jadi solusi optimalisasi fungsi pesantren ini.

Pertama, dalam aspek pendidikan, UU mengakui keragaman luar biasa: dari pendidikan berbasis Kitab Kuning, Dirasah Islamiah dengan pola muallimin, Pendidikan Muadalah, hingga Ma'had Aly yang setara S1. Keberagaman ini adalah kekayaan yang harus difasilitasi secara profesional, bukan diseragamkan. Ditjen Pesantren dapat memberikan pembinaan sesuai karakteristik masing-masing, memastikan penjaminan mutu tanpa mematikan keunikan—ini persis seperti amanat Pasal 30 yang menjamin independensi pesantren.

Kedua, fungsi dakwah. Di era digital ini, medan dakwah telah bergeser drastis. Ironisnya, banyak konten Islami di dunia maya justru diproduksi oleh pihak yang tidak memiliki kapasitas keilmuan memadai, bahkan menyesatkan. Pesantren dengan khazanah Islam yang mendalam seharusnya menjadi produsen utama konten dakwah moderat.

UU Pesantren dalam konsideransnya menegaskan: pesantren harus "memegang teguh ajaran Islam rahmatan lil'alamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat." Nilai-nilai ini adalah aset bangsa yang harus disebarluaskan secara terstruktur melalui Ditjen Pesantren.

Ketiga, pemberdayaan masyarakat. Pasal 48 UU mengamanatkan fasilitasi pemerintah untuk fungsi ini. Tapi berapa banyak pesantren yang sudah mengoptimalkan potensi pemberdayaan ekonomi dan sosial? Program kemandirian pesantren yang baru menyasar 3.600 pesantren dalam empat tahun (target 2024) menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah. Ditjen Pesantren dapat menjadi fasilitator sistematis yang menghubungkan pesantren dengan dunia usaha, lembaga donor, dan program pemberdayaan pemerintah.

Read Entire Article
Politics | | | |