
Oleh : Jani Purnawanty; Dosen dan Peneliti di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Board Member Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Ibu di Indonesia sejatinya tidak lahir dari sentimentalitas keibuan. Ia lahir dari sebuah peristiwa politik yang tegas. Ia ditetapkan guna memperingati Kongres Perempuan Indonesia I, yang berlangsung pada 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta, hanya berselang dua bulan dari Sumpah Pemuda.
Sekitar 30 organisasi perempuan beragam latar hadir: perempuan Islam, nasionalis, kelompok pendidikan, hingga organisasi sosial. Yang mereka bicarakan bukan bunga, bukan pengorbanan ibu yang dipuisikan, melainkan persoalan konkret dan berani: perkawinan anak, poligami, pendidikan perempuan, hak berorganisasi, serta posisi perempuan dalam perjuangan kebangsaan. Di titik inilah perempuan Indonesia untuk pertama kalinya tampil sebagai subjek politik kolektif, bukan sekadar penguat moral bagi perjuangan laki-laki.
Tokoh-tokohnya pun tidak berdiri dalam satu sosok heroik tunggal. Gerakan ini adalah jejaring, bukan kultus individu. Nama-nama seperti Soewarni Pringgodigdo, Nyi Hajar Dewantara, Siti Sundari, serta organisasi seperti Aisyiyah, Wanita Taman Siswa, dan Poetri Indonesia, muncul silih berganti dalam lintasan sejarah kongres perempuan berikutnya. Intinya jelas: 22 Desember bukan “Mother’s Day versi Negara Katulistiwa” melainkan tonggak kesadaran politik perempuan Indonesia sebagai warga bangsa.
Masalahnya, medan perjuangan itu kini telah bergeser. Jika dahulu hak politik perempuan berada dalam satu lorong besar bernama kemerdekaan nasional, dengan musuh yang kasatmata bernama kolonialisme, hari ini medan itu terpecah, berlapis, dan sering kali tak terlihat. Musuhnya tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari cara berpikir yang diwarisi, dinegosiasikan, bahkan direproduksi dalam kehidupan sehari-hari perempuan sendiri.
Di abad ini, ketidakadilan jarang bekerja dengan menutup pintu; ia bekerja dengan menguras tenaga. Politik perempuan hari ini bukan lagi terutama soal akses, melainkan soal energi. Yang dimaksud bukan sekadar tenaga fisik, melainkan daya hidup politik: waktu, perhatian, kesehatan mental, dan kapasitas untuk terus hadir di ruang publik tanpa runtuh secara perlahan.
Secara formal, perempuan telah memiliki akses ke pendidikan, pekerjaan, dan politik. Pintu-pintu itu tidak lagi tertutup rapat. Namun akses tanpa energi hanyalah ilusi partisipasi. Hak boleh tersedia, tetapi sulit dimanfaatkan ketika energi perempuan terkuras setiap hari untuk memastikan kehidupan domestik tetap berjalan.
Energi itu habis bukan oleh satu beban besar, melainkan oleh akumulasi kerja kecil yang tak pernah selesai: kerja pengasuhan, kerja emosional, kerja mengatur rumah tangga, yang dianggap “alami” dan karenanya tak pernah diakui sebagai kerja sosial. Di ruang publik, tuntutan justru berlipat. Perempuan harus produktif, kompeten, berprestasi, sekaligus tetap hadir penuh di rumah.
Narasi “perempuan bisa melakukan segalanya” terdengar membebaskan, tetapi sebenarnya kejam, karena seluruh biaya kelelahan dipindahkan ke tubuh dan pikiran perempuan sendiri. Ketimpangan hari ini jarang hadir sebagai larangan terbuka; ia hadir sebagai kelelahan yang dinormalisasi.
Kelelahan itu kemudian direduksi menjadi persoalan personal. Ketegangan antara peran domestik dan publik diperlakukan sebagai konflik internal perempuan: soal kecakapan mengatur waktu, soal pilihan hidup, soal “konsekuensi” menjadi perempuan modern. Reduksi ini bukan kebetulan, melainkan mekanisme politik yang rapi.
Ketika dilema tersebut diposisikan sebagai urusan individu, negara, pasar, dan norma sosial terbebas dari tanggung jawab. Tidak perlu kebijakan pengasuhan yang adil, tidak perlu desain kerja yang ramah keluarga, tidak perlu redefinisi kerja domestik sebagai kerja sosial. Cukup dengan menasihati perempuan agar lebih pandai mengelola diri.
Di titik inilah patriarki bekerja paling efektif. Beban domestik dipertahankan bukan lewat paksaan, melainkan lewat sterilisasi peran laki-laki. Suami dan bapak dibingkai sebagai “pembantu sukarela” dalam urusan rumah tangga, bukan sebagai subjek yang bertanggung jawab penuh. Seorang ayah yang mengganti popok dipuji luar biasa; seorang ibu yang melakukan hal yang sama dianggap sekadar menjalankan kodrat.
Selama keterlibatan laki-laki dalam kerja domestik masih diposisikan sebagai bantuan, bukan kewajiban; sebagai pilihan moral, bukan tanggung jawab sosial; beban ganda akan terus direproduksi. Beban ini tidak lahir dari ambisi perempuan, melainkan dari sistem yang menolak membesarkan laki-laki sebagai subjek domestik yang setara.
Dalam konteks itu, peringatan Hari Ibu sendiri patut dibaca ulang. Pergeseran makna 22 Desember dari tonggak politik menjadi perayaan keibuan bukan sekadar salah kaprah yang tak disengaja. Ia dapat dibaca sebagai proses domestikasi sejarah. Ingatan kolektif tentang perempuan yang berdebat, berorganisasi, dan menuntut hak dilunakkan menjadi perayaan afeksi. Sejarahnya tidak dihapus, tetapi dipangkas ujung-ujungnya agar jinak. Ini cara yang jauh lebih efektif daripada pelarangan terang-terangan.
Tak heran jika perjuangan perempuan hari ini terasa lambat dan melelahkan. Musuhnya bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan sesuatu yang tampak normal: algoritma yang mengatur standar hidup, standar kecantikan yang tak pernah selesai, glorifikasi “ibu super” yang sanggup mengerjakan segalanya, serta narasi bahwa perempuan bisa menjadi apa saja, asal tidak menuntut terlalu banyak perubahan struktural. Ini ironi kemajuan: semakin banyak pilihan, semakin besar tuntutan untuk menanggung semuanya sendiri.
Mungkin Hari Ibu memang boleh dirayakan dengan cinta dan penghargaan. Tetapi tanpa mengembalikan ingatan politiknya, kita sesungguhnya sedang merayakan versi sejarah yang telah dipotong dan dikerdilkan. Kongres Perempuan 1928 bukan tentang menjadi ibu yang baik, melainkan tentang menjadi warga negara yang sadar, berani, dan tak mau diam. Di sanalah, seharusnya, makna Hari Ibu terus dipertahankan.

3 hours ago
4














































