loading...
Tifauzia Tyassuma, Dokter, Epidemiolog Perilaku dan Neuropolitika. Foto/Dok.SindoNews
Tifauzia Tyassuma
Dokter, Epidemiolog Perilaku dan Neuropolitika
BYUNG-CHUL Han, filsuf Korea Selatan–Jerman, dalam bukunya “Psychopolitics; Neoliberalisme and New Technology of Power” (2017) mengajukan tesis yang semakin relevan dalam konteks sosial dan politik hari ini. Di mana, kita hidup dalam era kapitalisme emosional, yakni fase ketika emosi bukan hanya bagian dari pengalaman manusia, tetapi telah menjadi komoditas, alat produksi, dan instrumen kekuasaan.
Mengelola emosi disebut Han sebagai teknologi baru dari kekuasaan dan kekuatan. Filsuf Korea Selatan–Jerman, dalam bukunya “Psychopolitics; Neoliberalisme and New Technology of Power” (2017) mengajukan tesis yang semakin relevan dalam konteks sosial dan politik hari ini.
Menurutnya, kekuasaan tidak lagi bekerja melalui aturan atau pengekangan fisik sebagaimana dalam masa biopolitik modernitas awal. Melainkan melalui pengelolaan suasana hati, rasa takut, marah, antusiasme, dan preferensi emosional warganya.
Istilah ini mula-mula diperkenalkan oleh sosiolog Eva Illouz—dalam bukunya “Cold intimacies ; the making of emotional Capitalism” pada awal 2000-an untuk menjelaskan bagaimana bahasa terapi dan psikologi mengalir ke ruang kerja, keluarga dan hubungan personal.
Namun, maknanya berkembang lebih jauh ketika Han menggunakannya untuk membaca konfigurasi kekuasaan kontemporer, di mana kapitalisme emosional bukan semata perubahan budaya atau retorika komunikasi. Melainkan modus pemerintahan baru yang bekerja melalui data emosional manusia.
Fenomena ini kini tampak jelas, terutama dalam pelbagai fenomena politik (dan juga ekonomi). Narasi politik semakin bergeser dari argumentasi programatik menjadi permainan sentimen. Dalam berbagai momentum pemilu, baik di Indonesia maupun di negara lain, pemilih tampak lebih tergerak oleh rasa takut, nostalgia, identitas kelompok, atau kedekatan emosional ketimbang evaluasi kebijakan atau rekam jejak.
Ruang politik tampak berubah menjadi panggung afeksi, bukan ruang deliberasi. Neurosains perilaku (Behavior Neuroscience) membantu menjelaskan pergeseran tersebut.
Riset Daniel Kahneman dan psikologi kognitif—dalam bukunya “Thinking fast and slow “ (2011) menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan manusia dibuat oleh sistem saraf emosional (sistem-1) yang bekerja jauh lebih cepat daripada mekanisme berpikir reflektif (sistem-2).














































