Nilai Naik, Moral Turun?

12 hours ago 6

Image Balkis Abidah

Eduaksi | 2025-05-02 17:16:54

Kecurangan dalam UTBK SNBT 2025 kembali mengguncang kesadaran publik. Dalam dua hari pelaksanaan saja, panitia mencatat sedikitnya 14 kasus kecurangan. Salah satunya bahkan melibatkan modus yang mencengangkan: kamera diselipkan dalam kawat behel demi mencontek. Bukan sekadar kecerdikan dalam kejahatan, ini adalah bukti konkret kerusakan sistemik dalam dunia pendidikan. Survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2024 menguatkan keprihatinan ini. Sebanyak 98% pelajar di perguruan tinggi masih terbiasa mencontek. Angka ini tidak bisa dianggap sepele. Ia menunjukkan bahwa integritas bukanlah nilai yang tumbuh dalam sistem pendidikan kita hari ini.

Padahal, tujuan pendidikan nasional begitu mulia: membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab. Namun realitanya, akhlak mulia dan ketakwaan justru tersingkir dari tujuan utama pendidikan. Bagi banyak peserta didik—dan bahkan pendidik—pendidikan tinggi hanya dipandang sebagai tiket menuju pekerjaan mapan dan penghasilan besar. Maka, demi ambisi itu, berbagai cara ditempuh, termasuk kecurangan. Yang lebih miris, kecurangan ini tidak berdiri sendiri. Ia telah menjadi praktik sistematis dan masif, bukan sekadar kesalahan individu. Ini adalah hasil dari sistem pendidikan yang berasaskan kapitalisme, di mana keberhasilan diukur dengan angka dan gelar, bukan kejujuran dan amanah. Nilai ujian menjadi lebih penting daripada proses. Kehalalan cara diabaikan demi "hasil yang penting tinggi".

Dalam sistem kapitalisme, orientasi pendidikan adalah pasar. Sekolah dan kampus berlomba mencetak lulusan yang “siap kerja”, bukan “siap hidup dengan nilai”. Akhirnya, siswa dibentuk untuk menjadi manusia teknis, bukan manusia utuh yang punya akhlak dan spiritualitas. Maka, tak heran jika kemajuan teknologi pun digunakan untuk mencurangi ujian, bukan untuk perbaikan umat. Inilah buah dari pendidikan sekuler yang tercerabut dari nilai Islam. Pendidikan yang tak lagi bertanya, “Apakah ini diridhai Allah?” melainkan hanya, “Apakah ini bisa menghasilkan uang?”

Sebaliknya, Islam memandang pendidikan sebagai sarana membentuk kepribadian Islami—berpikir dan bersikap sesuai dengan syariat Allah. Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak insan cerdas secara akademik, tetapi juga manusia yang bertakwa, jujur, amanah, dan peduli terhadap kemaslahatan umat. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara memiliki tanggung jawab utama dalam menjamin pendidikan yang benar. Kurikulum dirancang untuk menanamkan akidah sejak dini, membentuk pola pikir dan sikap Islami, serta membekali peserta didik dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun peradaban. Teknologi pun diarahkan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan sekadar alat meraih dunia. Dalam sistem ini, ukuran keberhasilan bukanlah sekadar nilai atau gelar, tetapi keridhaan Allah SWT. Nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab menjadi prinsip hidup yang didasarkan Ridho Allah sebagai tujuan hidup. Maka, lahirlah generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki integritas dan siap menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

Fenomena kecurangan UTBK bukanlah persoalan teknis semata, tapi gejala akut dari sistem pendidikan yang rusak secara fundamental. Selama pendidikan masih bercorak kapitalistik, selama itu pula kita akan terus menyaksikan generasi yang kehilangan arah hidupnya.

Kini saatnya melihat Islam bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai sistem kehidupan yang paripurna—termasuk dalam bidang pendidikan. Hanya sistem Islam-lah yang mampu memberikan solusi menyeluruh, mencetak generasi unggul, berakhlak, dan berkontribusi nyata dalam membangun peradaban yang gemilang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |