Pembekalan pemuka agama di gedung MUI, Jakarta, Sabtu (12/7/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Krisis iklim dan kerusakan hutan tropis semakin menjadi ancaman nyata bagi masa depan bumi. Namun, solusi untuk masalah kompleks ini tidak cukup hanya mengandalkan sains dan teknologi. Nilai-nilai keagamaan dan peran pemuka agama serta majelis keagamaan memiliki kekuatan besar dalam membangkitkan kesadaran dan aksi kolektif masyarakat.
Memahami pentingnya sinergi ini, Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia bersama Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar pembekalan bertajuk “Memadukan Sains dan Spiritualitas: Peran Pemuka Agama dalam Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat” pada Sabtu (12/7/2025) di Gedung MUI Pusat, Jakarta. Acara tersebut juga akan diikuti secara daring oleh peserta dari berbagai daerah melalui Zoom.
Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Dr. Hayu Prabowo, yang menjadi narasumber utama dalam kegiatan ini, menyampaikan bahwa tantangan kerusakan hutan tropis serta krisi iklim harus dihadapi dengan pendekatan multidimensi.
“Sains memberi kita peta jalan, data, dan teknologi. Tapi untuk benar-benar menggerakkan perubahan perilaku, kita membutuhkan suara moral yang kuat. Di sinilah peran pemuka agama dan majelis keagamaan menjadi sangat penting,” ungkap Hayu.
Menurutnya, degradasi lingkungan telah menyebabkan peningkatan bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, dan badai. Lebih dari 95% bencana di Indonesia terkait langsung dengan krisis iklim yang diperparah oleh deforestasi dan degradasi hutan.
“Gerakan lintas agama ini dilakukan untuk mengembangkan konservasi berbasis kearifan lokal, memperkuat kapasitas analisis kebijakan untuk menyusun policy brief berbasis sains dan etika agama untuk kehidupan berkelanjutan.”