Penerapan EPR Dinilai Berpotensi Percepat Pengentasan Kemiskinan Nasional

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) atau perluasan tanggung jawab produsen atas sampah produk, dinilai memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada percepatan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pengentasan kemiskinan itu bisa terwujud melalui penguatan sektor informal yang selama ini menjadi tulang punggung ekosistem ekonomi sirkular.

Namun, pendekatan EPR perlu dijalankan secara inklusif agar tidak semata menjadikan kelompok rentan sebagai alat produksi, melainkan sebagai subjek pembangunan yang memperoleh hak sosial dan ekonomi secara utuh.

Deputi Bidang Percepatan Pemberdayaan Kapasitas dan Penyediaan Akses Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) Novrizal Tahar mengatakan, agenda pengentasan kemiskinan menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Komitmen tersebut tercermin dari pembentukan BP Taskin sebagai lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk mengorkestrasi percepatan penurunan kemiskinan lintas sektor.

“Target kita jelas, kemiskinan ekstrem harus nol persen pada 2026. Angka kemiskinan nasional diturunkan menjadi 4 sampai 5 persen pada 2029, dan pada 2045 tidak ada lagi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Novrizal dalam diskusi Mendorong Ekonomi Sirkular yang Inklusif dan Berkeadilan melalui Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas, Selasa (23/12/2025).

Berdasarkan data Maret 2025, tingkat kemiskinan Indonesia berada di angka 8,47 persen, turun dari 8,57 persen pada September 2024. Dari setiap 100 penduduk Indonesia, sekitar delapan orang hidup dalam kemiskinan, dan satu di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jumlah penduduk miskin ekstrem saat ini diperkirakan mencapai 24 juta orang.

Novrizal menilai, untuk mencapai target ambisius tersebut dibutuhkan kolaborasi besar lintas kementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, filantropi, hingga dana umat. Dalam konteks ekonomi sirkular dan EPR, keterlibatan sektor swasta dinilai sangat krusial, tidak hanya melalui kewajiban produsen, tetapi juga melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Ia menyoroti peran strategis sektor informal dalam ekosistem ekonomi sirkular, terutama para pemulung dan pelaku usaha pengumpulan sampah atau waste picker.  Novrizal mencatat berdasarkan data Ikatan Pemulung Indonesia, sekitar 4 juta orang tercatat bekerja di sektor ini. Namun jumlah riilnya diperkirakan bisa mencapai 10 juta orang karena banyak yang belum memiliki identitas kependudukan.

“Kita bicara ekonomi sirkular, salah satu ekosistem terbesarnya adalah sektor informal. Mereka ini backbone, tapi ironisnya banyak yang tidak tercatat secara administratif sehingga tidak masuk dalam sistem penargetan nasional kemiskinan,” ujarnya.

Menurut Novrizal, persoalan identitas menjadi akar masalah yang membuat pekerja sektor informal kerap terpinggirkan dari berbagai program bantuan sosial. Banyak dari mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP), tempat tinggal tetap, atau jaminan administratif lainnya. Akibatnya, meski hidup dalam kondisi rentan, mereka tidak tercatat sebagai penerima manfaat bantuan negara.

BP Taskin, kata dia, saat ini tengah menyusun rencana induk pengentasan kemiskinan yang bertumpu pada lima pilar. Pilar pertama adalah sistem penargetan nasional yang memastikan penduduk miskin dan rentan terdata secara by name by address agar memperoleh haknya, mulai dari bantuan langsung tunai, Program Keluarga Harapan, hingga kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional.

“Teman-teman sektor informal ini bukan hanya kita lihat sebagai alat produksi ekonomi sirkular. Kita ingin mereka menikmati Indonesia seutuhnya sebagai warga negara, punya hak politik, hak sosial, dan kehidupan yang layak. Kuncinya dimulai dari identitas,” kata Novrizal.

Pilar kedua adalah penguatan perlindungan sosial agar bantuan benar-benar tepat sasaran. Negara, menurut Novrizal, harus memastikan subsidi, bansos, dan jaminan sosial diterima oleh mereka yang memang berhak. Setelah itu, pilar ketiga diarahkan pada pemberdayaan ekonomi, termasuk peningkatan pendapatan dan produktivitas kelompok miskin dan rentan.

Dalam konteks ini, EPR dinilai dapat menjadi pintu masuk penting. Skema tanggung jawab produsen yang dikombinasikan dengan ekonomi sirkular membuka peluang integrasi sektor informal ke dalam rantai nilai formal, mulai dari pengumpulan, pemilahan, hingga pengolahan material pascakonsumsi. Integrasi tersebut diharapkan tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga memberikan kepastian kerja dan akses pembiayaan.

BP Taskin, kata Novrizal, juga tengah mendorong pembentukan Taskin Fund, yakni skema pembiayaan mikro berbasis kelompok tanpa agunan aset seperti sertifikat tanah. Melalui skema ini, kelompok masyarakat miskin, termasuk pekerja sektor informal dalam ekonomi sirkular, dapat mengakses pinjaman kecil untuk meningkatkan usaha dan produktivitas.

Namun, Novrizal menegaskan, keberhasilan EPR dalam pengentasan kemiskinan sangat bergantung pada cara pandang para pelaku usaha. Ia mengingatkan agar kewajiban EPR dan CSR tidak dijalankan secara sempit.

“Saya mendorong teman-teman yang punya kewajiban EPR dan CSR, jangan hanya menjadikan sektor informal sebagai alat produksi. Lakukan pendekatan yang inklusif dan bermartabat. Mereka adalah warga negara Indonesia yang harus kita entaskan dari kemiskinan dan kita berikan hak-haknya,” ujarnya.

Ia menilai, pendekatan EPR yang terintegrasi dengan agenda perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi berpotensi menjadikan ekonomi sirkular bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga instrumen strategis pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Read Entire Article
Politics | | | |