
ShippingCargo.co.id, Jakarta— Menteri Keuangan AS Scott Bessent baru-baru ini menegaskan bahwa ada "jalan menuju kesepakatan" terkait tarif dengan Tiongkok, meskipun kedua negara mengirimkan sinyal bertolak belakang ke publik. Dalam wawancara dengan ABC News, Bessent menyatakan bahwa interaksinya dengan mitra Tiongkok lebih difokuskan pada stabilitas keuangan global dan ekonomi makro ketimbang negosiasi spesifik tentang tarif.
Sementara Presiden Donald Trump menyebut bahwa negosiasi tarif sedang berjalan, Kementerian Luar Negeri Tiongkok membantah klaim tersebut. Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, bahkan menuduh AS memprovokasi perang dagang tanpa alasan, memperlihatkan eskalasi retorika di tengah ketegangan perdagangan, per Republika.
Menanggapi inkonsistensi tersebut, Bessent menjelaskan bahwa komunikasi yang saling bertolak belakang ini adalah bagian dari "ketidakpastian strategis" — sebuah konsep penting dalam Teori Permainan (Game Theory) yang juga tercermin dalam model negosiasi dengan dua sisi ketidakpastian (two-sided uncertainty). Seperti dijelaskan dalam penelitian Peter Cramton berjudul Strategic Delay in Bargaining with Two-Sided Uncertainty, ketika kedua pihak memiliki informasi privat tentang preferensi mereka, penundaan dan sinyal bertolak belakang digunakan untuk menguji kesabaran lawan sekaligus mengungkap kekuatan posisi tawar.
Dalam Teori Permainan, negara-negara bertindak sebagai pemain rasional yang membuat keputusan tidak hanya berdasarkan kepentingannya sendiri, tetapi juga berdasarkan prediksi tentang reaksi pihak lawan. Ketidakpastian strategis dimanfaatkan untuk mempertahankan keunggulan negosiasi; lawan tidak tahu pasti langkah berikutnya, sehingga mendorong kompromi atau reaksi yang menguntungkan. Hal ini selaras dengan analisis Weinstein dan Yildiz dalam artikel berjudul Impact of Higher-Order Uncertainty (2006) tentang dampak ketidakpastian tingkat tinggi (higher-order uncertainty), hingga perubahan kecil pada asumsi pengetahuan bersama dapat memengaruhi hasil permainan secara signifikan.
Trump, menurut Bessent, memanfaatkan ketidakpastian ini untuk meningkatkan posisi tawar AS. Tidak mengungkapkan sepenuhnya kapan dan bagaimana kesepakatan tercapai adalah bagian dari strategi agar Tiongkok tetap "bermain defensif" di meja perundingan — mirip dengan model strategic delay dalam negosiasi tak terbatas (infinite-horizon bargaining), di mana penundaan menjadi alat untuk mengekstrak konsesi (Cramton, 1991).
Namun, praktik ini bukannya tanpa risiko. Kenaikan tarif membuat harga produk impor meroket, seperti yang dialami konsumen AS dengan kenaikan harga produk Shein hingga 377 persenntuk produk rumah tangga. Sektor ritel, agrikultur, dan manufaktur AS memperingatkan bahwa perang tarif berlarut-larut akan menyebabkan rak kosong, inflasi, dan potensi bailout bagi petani.
Trump tetap optimistis, mengklaim tarif akan menekan pajak penghasilan masyarakat berpendapatan rendah dan menciptakan lapangan kerja melalui relokasi industri. Di sisi lain, pemerintah AS mulai menyiapkan skenario bailout pertanian jika ekspor terus merosot — sebuah langkah yang mencerminkan dinamika equilibrium dalam permainan bertingkat, di mana ancaman kredibel (credible threats) harus didukung oleh tindakan nyata.
Dalam forum multilateral, seperti yang dinyatakan Menteri Pertanian AS Brooke Rollins, pembicaraan dengan Tiongkok dan lebih dari 100 negara lain tetap berlanjut setiap hari. Namun, seperti dalam banyak permainan strategi, hasil akhir masih bergantung pada siapa yang lebih sabar dan lebih cerdik dalam memanfaatkan ketidakpastian, sebagaimana ditekankan dalam analisis stabilitas global (global stability under uncertainty) oleh Weinstein dan Yildiz (2006) dalam tulisannya
Perang tarif ini telah bertransformasi menjadi ajang uji ketahanan diplomasi dan kecermatan strategi ala Teori Permainan. Dengan kedua pihak berusaha menahan tekanan domestik sambil mencari keuntungan maksimal — melalui kombinasi penundaan strategis (strategic delay), sinyal ambigu, dan ketidakpastian tingkat tinggi — dunia hanya bisa menunggu, apakah ini akan berujung pada de-eskalasi atau eskalasi baru di arena global.